Home » Opini » Runtuhnya Moral Religiusitas Orang Terkenal

Runtuhnya Moral Religiusitas Orang Terkenal

admin 10 Mar 2025 338

Beberapa hari terakhir media sosial diguncangkan tentang penjual Es Teh yang berjualan di tengah kerumunan acara ke-agama-an dengan penceramah atau seorang mubalig tersohor. Dalam acara tersebut sang mubaligh mempertontonkan etika ujaran yang tidak sepatutnya ia lontarkan terhadap pedagang Es Teh tersebut.

Peristiwa viral tersebut mengundang banyak pihak merespon dengan kritik, cemooh, bahkan hujatan terhadap mubaligh kondang itu, dan pasca peristiwa itu terjadi respon spontan rasa empati terhadap pedagang Es Teh begitu deras mengalir  dari orang-orang yang memiliki kepekaan sosial terhadap sang pedagang asongan itu.

Meski pedagang tersebut sudah mendapat limpahan rahmat berupa uang dan lain-lain, dari kejadian tersebut, hal itu sepertinya tidak mampu menaikan kembali etika sang mubaligh terkenal itu yang telah runtuh.

Jika seorang penyeru agama apalagi sudah menjadi da’i tersohoh bak seorang artis yang sudah menjadi publik figur, ucapan dan perbuatannya akan jadi ukuran kepantasan publik. Maka ada pepatah Arab mengatakan al-Lisan Mizan al- Insan (ucapan itu jadi timbangan manusia) atau pribahasa Indonesia “mulut mu harimau mu,” bahkan dalam hadits disebutkan :  المسلم من سلم المسلمون لسانه ويده   ) seorang muslim adalah orang yang selamat dari lidah dan tangannya).

Dari kejadian viral tersebut kita bisa belajar bahwa pentingnya moral atau akhlak bagi seorang mubaligh tersohor. Terlebih keterkenalannya itu sebagai peneyeru (da’i) agama, kiranya penting mendahulukan akhlak di atas yang lainnya. Jangan sampai seorang penyeru agama itu disindir  firman Allah dalam surat As-Shaf ayat 2 :

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْن

“Sangat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan”

Ayat di atas mengajarkan kita, terlebih bagi seorang da’i agar selalu terintegrasi antara ucapan dan perbuatan. Bahwa suatu tidak melakukan apa yang sudah dikatakan atau disampaikan kepada orang lain sangatlah dibenci Allah, jika kamu mengikuti kebiasaan orang-orang hipokrit, mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan, bermuka dua, tidak konsisten, tidak ada kesatuan kata dan perbuatan dan tidak ada integritas.

Fenomena orang-orang terkenal dengan jubah agama kini seperti sudah mengalami dekadensi moral, ada da’i dikabarkan dengan bayaran pantastis melebihi dari kecukupannya, ada pula yang suka menjustifikasi orang-orang yang berbeda dengan pendapatnya, berkata kasar, ada pula yang bergaul tidak patut dengan kepantasannya.

Jika demikian ini menunjukan seperti yang diramalkan Nabi Muhammad ribuan tahun silam, bahwa akan datang satu masa mental-mental pengecap (khutaba) dan sedikit orang-orang intelektual (fuqaha). Dalam bahasa sejarawan kebangsaan Inggris Arnold Joseph Toynbee (w.1975) hal itu bisa dikatakan sebagai benih-benih awal runtuhnya kebudayaan. (Yudi Latif,1999).

Keadaan dekadensi moral yang terjadi pada kalangan orang-orang religiusitas yang terkenal belakangan ini sangat memprihatinkan banyak pihak. Keadaan moral etik kini sudah seperti pada level terendah, bahkan etika sudah tak dipahami dengan baik di masyarakat kebanyakan.

Meski pada dasarnya etika dan agama dapat selaras, akan tetapi dalam kajian filsafat adalah dua hal yang tidak selalu identik. Namun demikian etika dalam kehidupan manusia sejak ribuan tahun silam merupakan diskursus yang amat sublim.

Karena sublimasi etika begitu utama, dahulu ada seorang ulama tekenal sebelum kelahiran Imam Al-Ghazali, ia bernama Ibnu Hazm (w.1062) menulis kitab berjudul Mudawat al-Nufus tentang etika, belakangan kitab tersebut dikenal dengan nama Akhlak wa Siyar (etik dan prilaku) para sarjana Barat memberi judul kitab itu “ Behaviour “.

Pada masa tuanya Ibnu Hazm banyak memotret tentang kegelisahan dirinya terhadap prilaku dan etika manusia sehari-hari, berdasarkan pengalaman dia pada masa kecil, dan masa remaja serta saat usia muda mengalami puncak ketenaran sebagai politisi dan berakhir sebagai ulama terkemuka.

Dengan menulis tentang etika, bagi Ibnu Hazm ini menunjukan semakin adanya ketenangan dan kematangan dalam menilai orang dari prilakunya yang mana sangat paradoks dari prilaku Ibnu Hazm sebelumnya, yang sering digambarkan orang bahwa lidah Ibnu Hazm seperti ketajaman pendang jika berbicara. (Ihsan Abas,1987).

Bagi manusia yang telah memilki hikmah kebijaksanaan tinggi, etika bisa dianggap melampaui aspek-aspek agama, kekuasaan dan lain-lain. Bagi mereka etika amat fundamental, bukam saja sebagai renungan (dzikir) akan tetapi prilaku (amaliah) psikologis dan fenomenologis sosial yang harus dipelihara.

Karena etika dianggap sabagai fenomelogis kebijaksnaan yang tinggi bagi agama dan filsafat, maka jika sudah dirobohkan bukan perkara yang mudah untuk mampu membangun kembali. Dalam salah satu diskursus filsafat, fenomenologis menjadi prinsip dasar manusia berfilsafat yaitu sebagai pembalikan subjektif yang dikaitkan dengan etik yang mengatur prilaku manusia sehingga memiliki pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja sistem normatif.

Maka Al-Farabi dan Ibnu Sina berpendapat tentang roh-roh manusia akan terus ada sesudah mati, namun selanjutnya hanya roh-roh para pemikir dan orang yang memiliki etika yang akan terus hidup, meski sudah terpisah dengan jasad roh-roh tersebut akan mengalami semacam kenikmatan fisik. (Fazlur Rahman, 2003).

Dengan demikian sekali lagi bahwa etika sangat sublime dalam kehidupan manusia dan untuk menuju atau maraih kebajikan tuhan itu jalannya banyak tidak hanya bersandar pada satu warna dan jubah agama saja.

Sebagaimana dikatakan Ibnu Qutaibah (w.889) dalam pengantar kitabnya ‘Uyun al-Akhbar bahwa jalan menuju kebaikan kepada Allah itu bukan hanya satu jalan, pintu-pintunya sangat lebar, dan jalannya banyak, setiap kebaikan bukan saja terhimpun dalam tahajud tengah malam, puasa dan bukan hanya mengetahui halal dan haram. Kebaikan agama muncul tergantung kebaikan zaman, kebaikan zaman tergantung pada kebaikan penguasa, kebaikan penguasa terjadi bila penguasa selaras dengan pentunjuk Allah dan petunjuk (basyirah) yang benar. ( Ibnu Qutaibah,2008). Wallahu ‘Alam.

 

Penulis WS Abdul Aziz Katib MWC NU Cicendo Kota Bandung.

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Mengintegrasikan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

Redaksi

26 Nov 2025

Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …

Belajar dari Sejarah, Kepemimpinan Ulama dan Arah Perbaikan Konstitusi

Redaksi

23 Nov 2025

Kemelut yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada masa sekarang tahun 2025, bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan organisasi ini. NU sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia dengan ratusan jutaan warga dan ribuan pesantren tentu tidak luput dari dinamika internal, perbedaan pendapat, atau ketegangan antar-elitis. Dalam organisasi besar, gesekan adalah sesuatu yang …

Ibnu Rusyd Pemikir Muslim Independen

Redaksi

14 Nov 2025

Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd  atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …

Penguasa Kakistokrasi

Redaksi

31 Okt 2025

Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (II)

Redaksi

28 Okt 2025

Absenya Etika dalam Politik Kita Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)

Redaksi

24 Okt 2025

Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik …

x
x