Beberapa hari terakhir media sosial diguncangkan tentang penjual Es Teh yang berjualan di tengah kerumunan acara ke-agama-an dengan penceramah atau seorang mubalig tersohor. Dalam acara tersebut sang mubaligh mempertontonkan etika ujaran yang tidak sepatutnya ia lontarkan terhadap pedagang Es Teh tersebut.
Peristiwa viral tersebut mengundang banyak pihak merespon dengan kritik, cemooh, bahkan hujatan terhadap mubaligh kondang itu, dan pasca peristiwa itu terjadi respon spontan rasa empati terhadap pedagang Es Teh begitu deras mengalir dari orang-orang yang memiliki kepekaan sosial terhadap sang pedagang asongan itu.
Meski pedagang tersebut sudah mendapat limpahan rahmat berupa uang dan lain-lain, dari kejadian tersebut, hal itu sepertinya tidak mampu menaikan kembali etika sang mubaligh terkenal itu yang telah runtuh.
Jika seorang penyeru agama apalagi sudah menjadi da’i tersohoh bak seorang artis yang sudah menjadi publik figur, ucapan dan perbuatannya akan jadi ukuran kepantasan publik. Maka ada pepatah Arab mengatakan al-Lisan Mizan al- Insan (ucapan itu jadi timbangan manusia) atau pribahasa Indonesia “mulut mu harimau mu,” bahkan dalam hadits disebutkan : المسلم من سلم المسلمون لسانه ويده ) seorang muslim adalah orang yang selamat dari lidah dan tangannya).
Dari kejadian viral tersebut kita bisa belajar bahwa pentingnya moral atau akhlak bagi seorang mubaligh tersohor. Terlebih keterkenalannya itu sebagai peneyeru (da’i) agama, kiranya penting mendahulukan akhlak di atas yang lainnya. Jangan sampai seorang penyeru agama itu disindir firman Allah dalam surat As-Shaf ayat 2 :
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْن
“Sangat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan”
Ayat di atas mengajarkan kita, terlebih bagi seorang da’i agar selalu terintegrasi antara ucapan dan perbuatan. Bahwa suatu tidak melakukan apa yang sudah dikatakan atau disampaikan kepada orang lain sangatlah dibenci Allah, jika kamu mengikuti kebiasaan orang-orang hipokrit, mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan, bermuka dua, tidak konsisten, tidak ada kesatuan kata dan perbuatan dan tidak ada integritas.
Fenomena orang-orang terkenal dengan jubah agama kini seperti sudah mengalami dekadensi moral, ada da’i dikabarkan dengan bayaran pantastis melebihi dari kecukupannya, ada pula yang suka menjustifikasi orang-orang yang berbeda dengan pendapatnya, berkata kasar, ada pula yang bergaul tidak patut dengan kepantasannya.
Jika demikian ini menunjukan seperti yang diramalkan Nabi Muhammad ribuan tahun silam, bahwa akan datang satu masa mental-mental pengecap (khutaba) dan sedikit orang-orang intelektual (fuqaha). Dalam bahasa sejarawan kebangsaan Inggris Arnold Joseph Toynbee (w.1975) hal itu bisa dikatakan sebagai benih-benih awal runtuhnya kebudayaan. (Yudi Latif,1999).
Keadaan dekadensi moral yang terjadi pada kalangan orang-orang religiusitas yang terkenal belakangan ini sangat memprihatinkan banyak pihak. Keadaan moral etik kini sudah seperti pada level terendah, bahkan etika sudah tak dipahami dengan baik di masyarakat kebanyakan.

Meski pada dasarnya etika dan agama dapat selaras, akan tetapi dalam kajian filsafat adalah dua hal yang tidak selalu identik. Namun demikian etika dalam kehidupan manusia sejak ribuan tahun silam merupakan diskursus yang amat sublim.
Karena sublimasi etika begitu utama, dahulu ada seorang ulama tekenal sebelum kelahiran Imam Al-Ghazali, ia bernama Ibnu Hazm (w.1062) menulis kitab berjudul Mudawat al-Nufus tentang etika, belakangan kitab tersebut dikenal dengan nama Akhlak wa Siyar (etik dan prilaku) para sarjana Barat memberi judul kitab itu “ Behaviour “.
Pada masa tuanya Ibnu Hazm banyak memotret tentang kegelisahan dirinya terhadap prilaku dan etika manusia sehari-hari, berdasarkan pengalaman dia pada masa kecil, dan masa remaja serta saat usia muda mengalami puncak ketenaran sebagai politisi dan berakhir sebagai ulama terkemuka.
Dengan menulis tentang etika, bagi Ibnu Hazm ini menunjukan semakin adanya ketenangan dan kematangan dalam menilai orang dari prilakunya yang mana sangat paradoks dari prilaku Ibnu Hazm sebelumnya, yang sering digambarkan orang bahwa lidah Ibnu Hazm seperti ketajaman pendang jika berbicara. (Ihsan Abas,1987).
Bagi manusia yang telah memilki hikmah kebijaksanaan tinggi, etika bisa dianggap melampaui aspek-aspek agama, kekuasaan dan lain-lain. Bagi mereka etika amat fundamental, bukam saja sebagai renungan (dzikir) akan tetapi prilaku (amaliah) psikologis dan fenomenologis sosial yang harus dipelihara.
Karena etika dianggap sabagai fenomelogis kebijaksnaan yang tinggi bagi agama dan filsafat, maka jika sudah dirobohkan bukan perkara yang mudah untuk mampu membangun kembali. Dalam salah satu diskursus filsafat, fenomenologis menjadi prinsip dasar manusia berfilsafat yaitu sebagai pembalikan subjektif yang dikaitkan dengan etik yang mengatur prilaku manusia sehingga memiliki pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja sistem normatif.
Maka Al-Farabi dan Ibnu Sina berpendapat tentang roh-roh manusia akan terus ada sesudah mati, namun selanjutnya hanya roh-roh para pemikir dan orang yang memiliki etika yang akan terus hidup, meski sudah terpisah dengan jasad roh-roh tersebut akan mengalami semacam kenikmatan fisik. (Fazlur Rahman, 2003).
Dengan demikian sekali lagi bahwa etika sangat sublime dalam kehidupan manusia dan untuk menuju atau maraih kebajikan tuhan itu jalannya banyak tidak hanya bersandar pada satu warna dan jubah agama saja.
Sebagaimana dikatakan Ibnu Qutaibah (w.889) dalam pengantar kitabnya ‘Uyun al-Akhbar bahwa jalan menuju kebaikan kepada Allah itu bukan hanya satu jalan, pintu-pintunya sangat lebar, dan jalannya banyak, setiap kebaikan bukan saja terhimpun dalam tahajud tengah malam, puasa dan bukan hanya mengetahui halal dan haram. Kebaikan agama muncul tergantung kebaikan zaman, kebaikan zaman tergantung pada kebaikan penguasa, kebaikan penguasa terjadi bila penguasa selaras dengan pentunjuk Allah dan petunjuk (basyirah) yang benar. ( Ibnu Qutaibah,2008). Wallahu ‘Alam.
Penulis WS Abdul Aziz Katib MWC NU Cicendo Kota Bandung.
Comments are not available at the moment.