Home » Opini » Haji Sarana Legitimasi Raja Jawa, Ngelmu dan Islamisasi di Indonesia

Haji Sarana Legitimasi Raja Jawa, Ngelmu dan Islamisasi di Indonesia

Redaksi 21 Mei 2025 92

Bulan Dzulhijjah merupakan penanda adanya bulan Haji, untuk itu kaum muslimin dari kalangan yang mampu (istatho’a), baik mampu secara fisik, syariat dan finansial, di bulan haji mereka antusias berbondong-bondong untuk menunaikan rukun Islam ke-5 tersebut, tak terkecuali umat Islam di Indonesia, hatta jauh-jauh hari mereka menabung uang untuk beribadah haji ke tanah suci Makkah Arab Saudi, lebih jauh kaum muslimin di Indonesia rela menunggu daftar haji bertahun-tahun lamanya.

Dari seluruh jamaah haji yang ada di Mekkah, orang Islam Indonesia—selama satu setengah abad terakhir—merupakan proporsi yang sangat besar. Pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia. Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup signifikan. Di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang Jawa merupakan salah satu kelompok terbesar. Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa arab. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama sekali. Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Bahkan ada kesan bahwa orang Islam Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi.  (Bruinessen, 2012 :3).

Ini menunjukan betapa antusiasnya sejak dahulu orang Indonesia melaksanakan ibadah haji, bahkan hingga sekarang ribuan orang muslim yang daftar tunggu demi untuk menunaikan rukun Islam ke-5 ini, mereka dengan rela menunggu antrian dan mengorbankan segala sesuatunya. 

Semangat orang Islam Indonesia dahulu berhaji, selain penghambaan pada Tuhan untuk memenuhi panggilan-Nya, berhaji merupakan sarana komunikasi sosial-politik orang-orang Nusantara di Makkah dan sekaligus untuk ngelmu agama Islam.

Ka’bah yang berada di Makkah secara aksiologis merupakan kiblat semua umat islam di dunia ini. Meski pada abad ke-17 menurut sejumlah antropolog, Makkah secara umum bukan saja menjadi kiblat umat Islam akan tetapi menjadi tempat komunikasi politik untuk mencari legitimasi para Raja Jawa dan juga sekaligus tempat memperdalam ilmu pengetahun bagi orang-orang Asia secara umum atau ngelmu yang dibahasakan Martin Bruinessen.

Pada tahun 1630-an, kata Martin Van Bruinessen (2012:4) bahwa raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar ‘sultan’. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan Madinah) saja, memiliki spiritual atas seluruh dunia Islam. Rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 (sedang yang dari Mataram baru sampai pada tahun 164l). Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepada sang raja: antara lain suatu potongan dan kiswah, kain hitam yang menutup Ka’bah dan yang setiap tahun diperbaharui—yang tentu saja dianggap sebagai jimat yang sangat mangkus. Beberapa puluh tahun kemudian, pada pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa juga 5 naik haji. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji.

Karena bagaimanapun juga dalam kosmologi Jawa pusat kosmos titik temu antara dunia fana kita dengan alam gaib, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat ‘angker’ lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (‘ngèlmu’) alias kesaktian dan legitimasi politik (‘wahyu’—istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya). Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah tentu saja, sebagai pusat kosmos utama mereka. ( Bruinessen, 2012 : 4).

Gerakan Islamisasi masuk ke Indonesia dahulu salah satunya melalui ibadah haji. Melaksanakan haji selain menunaikan rukun Islam merupakan memiliki peran yang sangat penting dalam proses Islamisasi di Nusantara terutama di tanah Jawa. Ini dilihat bagaimana ulama-ulama Nusantara dahulu yang berangkat ibadah Haji tidak langsung pulang seusai melaksanakan ibadah tersebut, mereka banyak yang menetap di Makkah cukup lama untuk memperdalam pengetahuan agama Islam dari ulama-ulama di sana terutama memperdalam ilmu agama pada ulama Jawa yang sudah menetap lama di sana. Lalu sepulang dari Makkah para ulama Nusantara menyebarkannya Ilmu-ilmu tersebut di Indonesia.

Sebut saja Syaikh Yusuf Makassar, ia berangkat ke tanah Arab pada tahun 1644 dan baru kembali ke Indonesia sekitar tahun 1670. Ia belajar kepada banyak ulama besar, terutama ulama tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk mengajar berbagai tarekat. Yang dicari Yusuf bukan kesaktian saja. Di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim Al-Kurani di Madinah ia antara lain mempelajari filsafat, kalam dan tasawuf yang sangat sulit seperti Al-Durrah Al-Fakhirah karya ‘Abd Al Rahman Jami. Setelah Yusuf pulang ke Indonesia, ia bukan hanya menyebarkan tarekat Khalwatiyah saja tetapi punya peranan politik yang cukup penting sebagai penasihat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Ulama lain yang juga lama menetap dan memperdalam ilmu ilmu agama di Makkah dan Madinah adalah ‘Abd Al-Rauf Singkel, yang kemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. ‘Abd Al Rauf dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia dan sebagai penerjemah dan penyunting Tafsir Jalalain dalam bahasa Melayu. Gurunya yang paling penting di Madinah tidak lain dari Ibrahim Al-Kurani tadi. Pada masanya Ibrahim adalah ulama yang paling besar di Madinah, dan murid-muridnya datang dari seluruh dunia Islam. Melalui muridnya ia mempengaruhi gerakan reformis abad ke-18 di berbagai negara. Baik Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab di tanah Arab maupun Syah Waliyullah di India dan reformis Muslim Cina Ma Ming Xin telah belajar kepada murid-murid Ibrahim Al-Kurani. Selain Yusuf dan ‘Abd Al-Ra’uf barangkali masih ada banyak orang Indonesia lainnya yang telah belajar kepada ulama besar ini. Salah satu karya Ibrahim 10 ditulisnya khusus untuk murid-muridnya dari Indonesia, mungkin atas permintaan ‘Abd Al-Rauf. Tulisan ini merupakan komentar terhadap suatu teks wahdat al-wujud yang sangat populer di Indonesia, Tuhfah Al-Mursalah.  (Bruinessen, 2012 :9-10).

Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan betapa ibadah Haji selain penghambaan dan kepasrahan manasik Ibrahim, berhaji menjadi fungsi sosiologis orang-orang Nusantara. Para ulama Indonesia mencari ilmu di Makkah dan Madinah dan setelah pulang ke tanah air mereka mengajar dan menyebarkannya kepada masyarakat ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di tanah suci. 

Maka dalam pandangan sosiologi agama setiap penghambaan selalu bersisi ganda, satu negatif (dalam pengertian luas) dan satunya lagi positif. Pada dasarnya seperti dua sisi mata uang apa yang terjadi pada ritus-ritus agama itu. Keduanya saling mengandaikan satu sam lain. Kesakralan dalam kajian sosiologi agama adalah apa-apa yang disisihkan yang diletakkan terpisah, keterpisahan dan keterputusan inilah yang menjadi demarkasi membedakannya dari hal-hal yang profan.(Durkheim.2011 :434).

Kembali tentang praktik keagamaan Islam orang Indonesia dahulu, kata Martin Van Bruinessen, bahwa praktik-praktik keagamaan Islam di Indonesia pada saat itu senantiasa mendapat koreksi dari sana juga. Islamisasi di Indonesia, menurut Bruinessen, perlu dilihat sebagai suatu proses yang sudah berlangsung sejak lama yaitu sejak abad ke-13 dan yang masih terus berlanjut sampai sekarang. Meski ia ragu siapa yang pertama-tama membawa Islam ke Indonesia—apakah orang India, Arab atau Cina—yang jelas bahwa sejak abad ke-17 menurutnya peranan utama dimainkan oleh orang Nusantara sendiri yang telah belajar di tanah suci terutama lewat sarana ibadah haji. Semua gerakan pemurnian dan pembaharuan di Nusantara, sampai awal abad ke-20, bersumber dari Makkah dan Madinah.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa tanah Arab dan para jamaah haji Indonesia yang bertemu di sana dengan saudara seakidah dari seluruh dunia Islam terutama di Makkah dan Madinah sebagai titik kumpul sarana sosiologis mereka, dan sekaligus sarana komunikasi politik para tokoh-tokoh Nusantara dalam menghadapi penjajah Belanda di tanah air. Juga terutama bagi mereka yang mau ngelmu agama langsung menetap di sana memperdalam agama kepada ulama-ulama mereka yang sama, dengan demikian mereka mengetahui perkembangan dan gerakan pada dunia Muslim lainnya. Pada akhirnya, perkembangan-perkembangan tersebut menyebar ke seluruh dunia Islam lainnya, juga berdampak berarti dalam proses politik dalam perlawanannya terhadap Belanda dan  islamisasi di Indonesia.

Di sini dapat kita renungkan betapa perjalanan ibadah haji yang begitu melelahkan, juga menelan biaya yang tidak sedikit, tapi para ulama dan tokoh-tokoh Nusantara dahulu memberikan implikasi yang sangat berarti dalam penyebaran ajaran Islam di Indonesia. Sepulang dari ibadah haji orang-orang dahulu tidak ada tindakkan ingin memamerkan kekayaan karena ingin atau memamerkan pencapaian kesalehan yang dihubungkan dengan keakuan kedudukan dalam kepemilikan harta agar dapat terlihat atau pengakuan status sosial dari orang lain, namun implikasi ibadah haji para ulama dan tokoh-tokoh Nusantara dahulu adalah sangat berdampak pada kehidupan sosial yang nyata, juga implikasinya terhadap perjuangan politik melawan penjajahan Belanda, dan lebih terpenting juga dampaknya terhadap penyebaran agama Islam di Indonesia, meski ibadah haji memiliki relasi kuat dengan dimensi kesanggupan batin dan materi akan tetapi mereka tetap asketis. Wallahu ‘A’lam. [].

 

Penulis : WS Abdul Aziz, Pegiat Pemikiran Sosial Keagamaan di Komunitas Lingkar Percakapan Publik (LINGKUP) .

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Memahami Otoritas Syuriah di Jam’iyah NU

Redaksi

24 Mei 2025

Sejak dulu otoritas Syuriah sebagai penentu kebijakan perkumpulan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan arah organisasi para ulama ini, bahkan lebih jauh arahannya ditunggu jamaah NU, dan bahkan pandangan terkait dengan dinamika politik Nasional isyaratnya sangat menentukan peta NU.   Otoritas Syuriah dalam wajah perkumpulan NU dipandang memiliki kekuatan khusus dari intelektual …

Ahmad Taufiq : 40 Tahun Lakpesdam NU antara Turats dan Menggerakan Ijtihad Sosial

Redaksi

10 Apr 2025

Empat dekade bukan sekadar hitungan usia. Bagi Lakpesdam NU, ini adalah cermin perjalanan panjang, dari sekadar pelengkap struktural menjadi nadi peradaban, dari ruang-ruang diskusi hingga menyentuh denyut masyarakat. Sebagai bagian dari keluarga besar Lakpesdam, saya merasa terpanggil untuk merefleksikan titik ini, adalah sebuah momentum penting dalam upaya menegaskan kembali posisi Lakpesdam sebagai Badan Perencanaan Strategis …

Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag-II)

admin

21 Mar 2025

Kemandirian adalah kemampuan seseorang, komunitas, masyarakat, organisasi, lembaga, instansi atau negara untuk mengatur diri sendiri, membuat kebijakan, keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, dan mengambil tindakan tanpa bergantung pada pihak lain. Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, dan mengembangkan potensi diri sendiri (sdm maupun sda), sarana dan prasarana dalam …

Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag 1)

admin

19 Mar 2025

Kemandirian adalah kemampuan seorang individu, masyarakat, organisasi, lembaga, instansi, komunitas, dan atau institusi negara untuk mengatur diri sendiri, membuat kebijakan, keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, dan mengambil tindakan tanpa bergantung pada pihak lain.  Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, dan mengembangkan potensi diri sendiri (baca; sumber daya manusia …

Nuzulul Al-Quran Sebagai Titik Awal Peradaban Islam

admin

18 Mar 2025

Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran atau  Nuzulul Quran, ayat pertama kali turun adalah “Iqra” atau membaca, ayat ini terdapat dalam permulaan surat Al-’Alaq, surat yang diturunkan pertama kali di Mekah kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang harus dibaca ( maa ana bi qari) ? yang harus dibaca adalah pencipta (Khaliq) dan ciptaan (makhluk).  اقْرَأْ …

Dari Politisi Menjadi Ulama Terkemuka

admin

15 Mar 2025

Segera setelah Ayah Hisyam II dari dinasti Hakam II memberikan karpet merah pada anak remajanya itu untuk melanjutkan kekuasaan di Cordoba perkiraan antara tahun 976-1009 Masehi, situasi politik di Kota tersebut mulai tak terkendali dan bahkan memburuk. Sebab pejabat-pejabat di lingkaran Istana yang menjadi pelaksana harian politik Hisyam II, sang penguasa yang masih muda itu …

x
x