Home » Opini » Dari Gus Dur Kita Belajar Tentang Pembaharuan NU (I)

Dari Gus Dur Kita Belajar Tentang Pembaharuan NU (I)

admin 10 Mar 2025 334

Setelah wafat KH. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ) pada 30 Desember 2009 banyak murid dan pengikutnya menyebut bulan Desember sebagai bulan Gus Dur. Berbagai ucapan, tulisan,opini, esai, meme, dan diskusi-diskusi bertemakan tentang pemikiran Gus Dur diselenggarakan, bertebaran banner, leaflet digital memenuhi linimasa media sosial kita.

Jika boleh dikenakan dalam istilah sekarang Point of View (POV) Gus Dur merupakan pribadi yang unik, kompleks dan nyeleneh. Karena itu gagasan dan pemikiran Gus Dur sulit untuk dipahami, apalagi dalam satu sudut tafsiran. Maka ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, ada lelucon anekdot tentang tiga misterius bahwa : ada tiga misteri Tuhan di dunia yang sulit dipahami manusia sebelum hal itu terjadi, “ jodoh, kematian dan Gus Dur.”

Maka bagi banyak orang pribadi Gus Dur merupakan sosok yang aneh, termasuk dalam kacamata pengikutnya dan kelompok intelektual sekalipun. Gus Dur kerap melontarkan atau tafsir tak terduga sebelumnya, ia bisa mengetahui sebelum hal yang belum terjadi, dalam makna tasawuf atau irfani mengandung hikmah yang mukasyafah dan misteri.

Dari Gus Dur bangsa ini belajar banyak hal, terutama tentang kemanusian, pluralis, toleransi keberagamaan, pribumisasi Islam, tradisionalisme, politik, demokrasi, jokes-jokes, dan tentunya belajar NU, yang mana tak berlebihan jika ada yang menyebut Gus Dur melampaui ayahnya (KH. Wahid Hasyim) dan kakeknya (KH. Hasyim ‘Asy’ari).

Ketika tahun 1977 Gus Dur semakin dihormati di Jakarta dan Jombang. Semakin banyak pula undangan untuk ceramah yang datang untuk mengisi ceramah atau menulis. Pada tahun yang sama Gus Dur ditawari jabatan sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari Jombang. Dengan senang hati ia menerima tawaran itu. Universitas Islam dengan diberi nama kakek Gus Dur yang didirikan oleh konsorsium pesantren Tebuireng. ( Greg Barton, 2016, hlm.123).

Kiai Bisri Syansuri Membujuk Gus Dur Jadi Pengurus Syuriah

Saat menjalankan karir sebagai pendidik di Universitas Hasyim Asy’ari, Gus Dur didekati pamannya Kiai Bisri Syansuri beberapa kali memintanya agar bergabung untuk pemeprtimbangkan jadi pengurus Dewan Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta. Ini merupakan permintaan paman dan sekaligus Kiai yang menjabat Rais Syuriah (pimpinan tertinggi NU), permintaan kiai sudah ketiga kali meminta Gus Dur agar bisa ikut ke Jakarta agar bergabung jadi pengurus Syuriah di PBNU. Gus Dur akhirnya menerima permintaan sang kiai tersebut, meski sebelumnya ada penolakan dari Gus Dur menerima ajakan dari pamannya itu. Gus Dur beralasan bahwa belum siap untuk memikul tanggung jawab di organisasi NU. Terlebih diingatnya bahwa ia merasa khawatir akan terjebak dalam permainan politik NU. Gus Dur membicarakan pada teman-teman dekatnya bahwa ia mempunyai keinginan mengembangkan diri untuk jadi intelektual publik dan tidak mau terikat pada struktur jam’iyah NU. Namun, Gus Dur juga menyadari bahwa tidak mungkin dirinya untuk terus bertahan pada keinginannya itu, oleh sebabnya ia diharapkan dapat memainkan peran formal di organisasi NU.( Barton, 2016, hlm.125).

Karena kecerdasan dan intelektual Gus Dur, ia mengawali karir organisasi NU pada Dewan Syuriah di PBNU. Menjadi bagian dari pengurus NU pada level Dewan Syuriah merupakan kehormatan tertinggi bagi setiap orang yang terpilih untuk bergabung pada jam’iyah NU, tak terkecuali Gus Dur. Selain memiliki kedudukan tertinggi, Syuriah merupakan sekumpulan para kiai-kiai tulus dan alim serta zuhud yang membawa keberkahan khusus bagi umat NU, terlebih zaman Gus Dur masih ada para muassis NU jadi pengurus Syuriah.

Bersama kakeknya Bisri Syansuri (Rois Syuriah PBNU) Gus Dur menjadi anggota Dewan Syuriah beberapa tahun. Di sini mulai terlihat secara dekat pengalaman ini melihat lebih jelas atas masalah-masalah dan cakupannya yang dihadapi oleh NU serta sekaligus memperkokoh reputasinya sebagai pemimpin muda NU yang penuh harapan. (Barton,2016, hlm.127).

Sepeninggal Kiai Bisri Syansuri pada tahun 1981, tidak mengendorkan semangatnya untuk tetap teratur mengikuti rapat-rapat dan konsolidasi dengan anggota Dewan Syuriah lain, ini pula semakin meneguhkan Gus Dur untuk memantapkan tinggal di Jakarta tidak mondar-mandir pergi ke Jombang. Di sebuah rumah sederhana daerah pinggiran Ibu Kota (Ciganjur) kala itu merupakan daerah pada lapangan luas yang selalu banjir, dan lebih memprihatinkan rumah tersebut kecil. Meski demikian relasi intelektual dapat memperkuat hubungan dengan Gus Dur hidup di DKI Jakarta dari pada tinggal di Jombang.

Wafatnya Kiai Bisri Syansuri merupakan kehilangan besar bagi keluarga besar NU, yang mana kala itu para Kiai di Dewan Syuriah memiliki kegelisahan karena dominasi Dewan Tanfidziah oleh para politikus. Oleh sebabnya Dewan Tanfidziah menjadi sasaran kritik pedas yang dilancarkan Dewan Syuriah. Bagi Kiai-Kiai yang berada di Dewan Syuriah, kala itu Dewan Tanfidziah dianggap telah mengabaikan kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan NU. Pada waktu itu Ketua Umum PBNU dipegang oleh KH. Idham Chalid. Ia telah menduduki posisi ini sejak tahun 1956. Kiai Idham Chalid merupakan Kiai yang tidak diragukan kepiawaiannya dalam politik, ia cukup berhasil memimpin NU melewati masa-masa yang sangat sulit, terutama selama pergantian dari rezim Soekarno ke Soeharto pada pertengahan tahun 1960-an (Barton,2016, hlm. 128).

Meski demikian pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum dilangsungkannya Pemilu, empat kiai sepuh dari Dewan Syuriah berkumpul di Jakarta dan mendatangi rumah Idham Chalid di rumahnya di Cipete. Dari empat kiai ini adalah para pendiri NU, dan karena itu sangat berpengaruh. Mereka adalah guru Gus Dur, Rais Aam KH. Ali Ma’sum, KH. Mahrus Aly, KH. As’ad Syamsul Arifin, dan KH. Masykur. Para Kiai ia bertemu Idham, meminta agar melepaskan jabatan sebagai Ketua Umum PBNU.

Kiai Achmad Siddik, Gus Dur dan Gerakan Perubahan NU

Bagi para kiai yang berada di Dewan Syuriah yakin NU pada saat itu sedang tidak baik-baik. Maka dipandang perlu ada perubahan kepemimpinan sangat krusial organisasi ini dapat maju. Para kiai sepuh tersebut merasa bahwa para politikus terlalu mendominasi dalam tubuh Tanfidziah sehingga meminggirkan para kiai di Dewan Syuriah.

Kiai Achmad Siddik seorang ulama senior dua puluh empat tahun lebih tua dari Gus Dur kiai berjiwa pembaharu. ia bersama Gus Dur bekerja erat. Kedua ulama NU ini bekerjasama dengan baik dan berpengaruh besar dalam Dewan Syuriah. Mereka berdua selain mampu mengartikulasikan kehendak para ulama sepuh di Dewan Syuriah, dua kiai ini berdiskusi terbuka tentang pembaharuan dan berpikir perlunya ada perubahan dalam tubuh NU serta terbuka berbicara mengenai penafsiran individual (ijtihad) terhadap Al-Quran dan Sunnah, mereka juga sekaligus seperti perantara budaya, juga mampu menerjemahkan ide-ide modern dalam bahasa tradisi dengan ujaran-ujaran dapat diterima para ulama yang konservatif ( Barton, 2016,hlm.153).

Bersama Gus Dur kiai Achmad Siddik membentuk tim yang mengesankan dan banyak berharap bahwa keduanya akan memimpin NU di masa datang. Dalam usahanya ini dapat dorongan juga dari rekan-rekan Gus Dur yang dulu pernah di pesantren dan kini sudah menjadi kiai-kiai muda. Terlebih beberapa kiai sepuh yang berpengaruh mulai meminta Gus Dur agar mengisi ceramah di pesantren-pesantren mengenai perubahan dalam NU.

Dari diskusi-diskusi yang dilakukan Kiai Achmad Siddik dan Gus Dur serta kiai-kiai lain dari Syuriah, dibentuklah forum bagi kalangan kiai-kiai yang memiliki semangat pembaharuan dan intelektual muda agar mereka dapat bergumul dengan banyak hal yang sedang dihadapi oleh organisasi yang sedang sakit. Forum tersebut dinamai Dewan 24, dan tim tujuh, termasuk Gus Dur dan Kiai Achmad Siddik terpilih dan ditugasi untuk memetakan rencana pembaharuan NU. (Barton, 2016, hlm.157-158).

Kiai Achmad Siddik dan Gus Dur merupakan sosok penting dalam perubahan NU pasca kepemimpinan Idham Chalid, mereka berdua yang pertama melontarkan secara terbuka dalam tubuh NU perlu ada perubahan dan pembaharuan penafsiran individual terhadap Al-Quran dan Sunnah. Bagi Gus Dur Kiai Achmad Siddik lebih dari seorang sahabat, teman berdiskusi tentang pembaharuan NU dan bersikap terhadap Kia Ahmad Siddik seperti seorang ayah bagi Gus Dur.

Pembaharuan yang dirumuskan mereka paling krusial adalah terkait penerimaan NU terhadap Pancasila dan Asas Tunggal serta terlepasnya NU dari anasir-anasir politik praktis, kala itu bagaimana bisa terlepas dari dominasi partai PPP dalam tubuh NU sehingga pada saat itu para politikus yang berada pada Dewan Tanfidziah terlalu mengesampingkan kiai-kiai di Dewan Syuriah sebagai majelis tertinggi dalam organisasi NU. Kiai Achmad Siddik dan Gus Dur melakukan rumusan pembaharuan NU, di antaranya adalah NU harus lepas dari dominasi para politikus, memfungsikan kembali Dewan Syuriah dengan baik dan mengembalikan NU pada Khittah 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan. [] Bersambung…

 

Penulis, WS Abdul Aziz Sekretaris Forum Jurnalis Jabar dan Alumni PDPKNU Kota Bandung (A1).

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Mengintegrasikan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

Redaksi

26 Nov 2025

Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …

Belajar dari Sejarah, Kepemimpinan Ulama dan Arah Perbaikan Konstitusi

Redaksi

23 Nov 2025

Kemelut yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada masa sekarang tahun 2025, bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan organisasi ini. NU sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia dengan ratusan jutaan warga dan ribuan pesantren tentu tidak luput dari dinamika internal, perbedaan pendapat, atau ketegangan antar-elitis. Dalam organisasi besar, gesekan adalah sesuatu yang …

Ibnu Rusyd Pemikir Muslim Independen

Redaksi

14 Nov 2025

Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd  atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …

Penguasa Kakistokrasi

Redaksi

31 Okt 2025

Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (II)

Redaksi

28 Okt 2025

Absenya Etika dalam Politik Kita Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)

Redaksi

24 Okt 2025

Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik …

x
x