Home » Opini » Menghamba Melalui Kesalehan Etika, Ritual dan Sosial

Menghamba Melalui Kesalehan Etika, Ritual dan Sosial

admin 10 Mar 2025 77

Pada bulan Ramadan di banyak tempat orang-orang berbicara tentang keinginan banyak merengkuh bongkahan tempat peribadatan, berduyun-duyun mendekati Tuhan. Mereka menghabiskan waktu dalam mantra-mantra doa, dzikir, ritual, dan bahkan ibadah secara bersemedi di tempat-tempat sunyi, dan menjauhi hiruk pikuk dunia. Lalu apakah mendekati Tuhan sebatas itu?

Para nabi dan tokoh-tokoh spiritual dahulu menunjukkan bahwa kedekatan dengan Tuhan bukan hanya urusan ibadah secara individual, melainkan juga bagaimana mereka hadir membantu rakyat jelata yang tertindas, mereka bersama rakyat jelata bergaul dalam kerumunan bahasa kaumnya, meski sebagai pemuka agama (baca; elit agamawan), namun strata sosial tidak menjadi jurang yang cukup dalam pada muamalat orang-orang saleh itu.

Para nabi dan orang-orang pemuka spiritual dalam kesejarahannya mereka tidak saja komat-kamit berkhotbah memberi petuah di majelis-majelis zawiyah, tidak pula hanya berujar di mimbar-mimbar masjid, dan mereka tidak saja memberi bimbingan seminar-seminar pada kelompok intelektual, atau ceramah pada pelatihan-pelatihan dan kiat-kiat sukses hidup, akan tetapi para nabi dan para pewarisnya berada dalam himpitan-himpitan kegelisahan orang tertindas nan papa, menjadi maisyah untuk kalangan yang lemah, ini yang disebut Ali Syari’ati sebagai ” Rausyan Fikr ” yakni intelektual yang tercerahkan.

Seorang “rausyan fikr” yang disebut Syariati yang paling dekat adalah salah satunya almarhum Gus Dur, tokoh NU yang dianggap wali ini memiliki strategi dalam implementasi di tengah umat, tidak seperti elit pada umumnya, yang mana ketika ia menjadi Presiden maupun Ketua umum PBNU berbaur dengan semua rakyat tanpa kecuali, dan tidak pernah merasa paling superior ketika bersama masyarakat. Selain itu, kerendah hatian, ketulusan, dan kesederhanaan Gus Dur merupakan faktor yang penting ajaran pewaris nabi itu. Konon ada yang bercerita saat tinggal di Pesantren Annuqayah, Gus Dur tidak mau tidur di rumah (ndalem) pengasuh, yaitu di rumah K.H Abd Basith AS. Ia memilih bersama yang lain tidur di pondok, Gus Dur hidup membaur dengan para santri dan masyarakat. Sikap dan perilaku semacam itu menjadikan para kiai, santri, dan masyarakat demikian termangu melihatnya, karena Gus Dur ternyata tidak hanya abstraksi retorik, akan tetapi justeru membaur tanpa membedakan strata sosial pada tataran praksis.

Misi ilahi para nabi dan orang-orang saleh dahulu, pertimbangan penting paling utama setelah mengajarkan monoteisme adalah kesalehan sosial yang mana harus melampaui kesalehan ritual. “Tidaklah kami utus ke muka bumi ini tak lain untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” demikian pula para pewaris nabi melakukan keseimbangan (tawazun) antara kehidupan ritual dan sosial dan bahkan perilaku sosial melampaui ritus-ritus ibadah individual.

Kata Ibnu Qutaibah Ad Dinawari dalam pengantar kitabnya Uyunul Akhbar, bahwa bentuk penyembahan diri kepada Tuhan sangat beragam, bukan terletak pada shalat, puasa, tahajjud saja, melainkan banyak pintu, dan banyak jalan untuk  beribadah kepada Allah itu. Lebih jauh dalam sebuah keterangan hadits disebutkan bahwa ” Allah sangat murka kepada orang-orang yang sehari-hari memakai jubah agama seperti baju para nabi, akan tetapi perbuatan mereka seperti orang-orang pendosa “.

Penjelasan dan kritik di atas mengindikasikan betapa dimensi ibadah kepada Allah bukan saja ibadah ritual, sekaligus kritik atas orang-orang yang selalu menggunakan formalitas dan simbol agama saja, apalagi terkait dengan perbuatan kekuasaan atau power, pemandangannya seperti Fir’aun. Ia tampak menakjubkan, tapi sekaligus menakutkan. Orang-orang akan berkerumun di hadapan kekuasaan itu  pakai jubah intelektual, agama, seragam serdadu, preman atau baju kebesaran para juragan untuk menyanjung nya, padahal semua fatamorgana jika kesalehan etika dan sosial absen pada individu maupun institusi apa pun.

Menghadirkan substansi agama dan pesan-pesan moral ilahi merupakan ajaran yang harus lebih didahulukan, meminjam bahasa mendiang almarhum Kang Jalal; mendahulukan akhlak diatas fiqih. Terlebih dalam konteks sekarang yang mana di berbagai sendi kehidupan pesan moral dan etika telah absen pada sendi-sendi agama, sosial, hukum, dan politik kita, bahkan pada titik terendah kesalehan ritual mampu menihilkan moral. Bukankah nabi diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak (moral) ?.

Maka dengan demikian dalam ajaran Islam bentuk strata sosial digambarkan sebagai sistem universalitas ( rahmatan lil alamin) yang mendorong manusia untuk saling menghormati, menghargai, membantu, dan memberikan manfaat satu sama lain tanpa membeda-bedakan agama, etnik, ras, status sosial, gender, genealogis, dan sejenis lainnya, semua sama, pengecualian dalam keunggulannya mereka dalam kesalehan moral, ritual dan sosial yang dibalut taqwa kepada Allah swt. []

 

Penulis : WS Abdul Aziz Katib Syuriah MWC NU Cicendo Kota Bandung.

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Ahmad Taufiq : 40 Tahun Lakpesdam NU antara Turats dan Menggerakan Ijtihad Sosial

Redaksi

10 Apr 2025

Empat dekade bukan sekadar hitungan usia. Bagi Lakpesdam NU, ini adalah cermin perjalanan panjang, dari sekadar pelengkap struktural menjadi nadi peradaban, dari ruang-ruang diskusi hingga menyentuh denyut masyarakat. Sebagai bagian dari keluarga besar Lakpesdam, saya merasa terpanggil untuk merefleksikan titik ini, adalah sebuah momentum penting dalam upaya menegaskan kembali posisi Lakpesdam sebagai Badan Perencanaan Strategis …

Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag-II)

admin

21 Mar 2025

Kemandirian adalah kemampuan seseorang, komunitas, masyarakat, organisasi, lembaga, instansi atau negara untuk mengatur diri sendiri, membuat kebijakan, keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, dan mengambil tindakan tanpa bergantung pada pihak lain. Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, dan mengembangkan potensi diri sendiri (sdm maupun sda), sarana dan prasarana dalam …

Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag 1)

admin

19 Mar 2025

Kemandirian adalah kemampuan seorang individu, masyarakat, organisasi, lembaga, instansi, komunitas, dan atau institusi negara untuk mengatur diri sendiri, membuat kebijakan, keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, dan mengambil tindakan tanpa bergantung pada pihak lain.  Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, dan mengembangkan potensi diri sendiri (baca; sumber daya manusia …

Nuzulul Al-Quran Sebagai Titik Awal Peradaban Islam

admin

18 Mar 2025

Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Quran atau  Nuzulul Quran, ayat pertama kali turun adalah “Iqra” atau membaca, ayat ini terdapat dalam permulaan surat Al-’Alaq, surat yang diturunkan pertama kali di Mekah kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang harus dibaca ( maa ana bi qari) ? yang harus dibaca adalah pencipta (Khaliq) dan ciptaan (makhluk).  اقْرَأْ …

Dari Politisi Menjadi Ulama Terkemuka

admin

15 Mar 2025

Segera setelah Ayah Hisyam II dari dinasti Hakam II memberikan karpet merah pada anak remajanya itu untuk melanjutkan kekuasaan di Cordoba perkiraan antara tahun 976-1009 Masehi, situasi politik di Kota tersebut mulai tak terkendali dan bahkan memburuk. Sebab pejabat-pejabat di lingkaran Istana yang menjadi pelaksana harian politik Hisyam II, sang penguasa yang masih muda itu …

Terminologi Ulama dalam Perspektif Islam

admin

14 Mar 2025

Makna Ulama menurut Al-Qur’an dan Hadits dapat dijelaskan sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam, khususnya dalam hal ilmu tentang Allah, wahyu-Nya, serta ajaran-ajaran Islam. Berikut adalah sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadis yang menyebutkan tentang ulama: 1.Makna Ulama dalam Al-Qur’an Surah Al-Fathir ayat : 28. اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ …

x
x