
Mazhab Kaum Sofis (Sufastaiyyah)
Perkembangan tradisi keilmuan Islam pada abad ke-3 H melalui pendirian Khazain al-Hikmah berupa perpustakaan pribadi Ja’far al-Manṣûr yang diperluas pada masa Al-Mahdî sebagai Bait al-Hikmah menandai penerimaan atau setidaknya pengaruh berbagai aliran filsafat Yunanî (falsafah al-Yunân) sebagai bagian panjang diskursus epistemologi Islam. Pengaruh filsafat Yunani tidak hanya terbatas pada aliran peripatetik (masyâiyyah) yang ditandai penerjemahan bagian-bagian Organon karya Aristoteles melalui peran para patriakh gereja Byzantium ran Antokhia yang meneruskan tradisi filsafat Aristoteles dari Alexandria yang kemudian berkembang dalam Islam menjadi aliran filsafat peripatetik Islam melalui peran Abû Ishâq al-Kindî, Al-Farâbî, Ibn Sînâ, etc., tetapi juga berbagai aliran filsafat Yunani yang cukup mendapat perhatian di kalangan sejarawan (muarrikh) dan teolog (mutakallimin) antaranya ialah aliran filsafat Sufastaiyyah.
Kata Sufastaiyyah merupakan bentuk Arabisasi (i’râb) dari kata Sofis dimana akat kata ini serupa dengan kata Sofia (σοφία) yang berarti hikmah. Para Sofis disebut sebagai sophistēs (σοφιστής) yang berarti sekumpulan orang-orang bijaksana. Para Sofis muncul sekitar abad ke-5 S.M. di Yunani terutama di kota Athena.
Sofis merupakan gerakan orang-orang terpelajar yang berpengaruh besar dalam pengajaran akademik terutama menyangkut pengajaran berbagai disiplin pengetahuan seperti filsafat, etika, fisika, matematika, etc. Tokoh terawal di dalam gerakan Sofis adalah Protagoras, lalu diikuti oleh Gorgias, Thrasymachus, Lykophron, etc. Para aristokrat, senator dan penduduk Athena melibatkan kalangan Sofis untuk mengajarkan etika dan politik dan berbagai subjek disiplin ilmu yang terkait praktik kekuasaan.
Doktrin utama para Sofis terkait erat dengan filsafat pengetahuan. Para Sofis cenderung menganggap pengetahuan bersifat subjektif dan intersubjektif dan atas alasan itu pengetahuan tentang suatu objek tidak bersifat absolut dan pasti. Para sofis menganggap bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk menafsirkan dan memahami pengetahuan sebagai suatu bentuk kebenaran yang bersifat arbitrer tanpa perlu bergantung pada suatu otoritas atau epistemologi tertentu. Pada tahap ini para Sofis menganggap bahwa pengetahuan yang bersifat ideal dan obyektif sebagai pengetahuan positif tidak berlaku dan sebab itu sebagaimana Hans Gadamer bahwa setiap orang dapat mencapai pengetahuan melalui jalan dialektika tanpa perlu bergantung pada disiplin pengetahuan tertentu dimana terdapat landasan ilmiah dan otoritas pengetahuan yang bersifat memaksa dan berlebihan untuk mengesankan sifat adikuasa sebagai sarana untuk mencapai kebenaran sejati yang justru hanyalah ilusi semata.
Pengaruh Sofisme dalam filsafat Islam dan gerakannya berpengaruh terhadap tradisi keilmuan Islam melalui perdebatan terbuka yang diselenggarakan oleh para khalifah dinasti ‘Abbasiyah dengan mempertemukan berbagai aliran pemikiran dan agama dalam mendiskusikan berbagai topik pemikiran. Para teolog Muslim mulai mengenal keberadaan para Sofis dari perdebatan-perdebatan terbuka tersebut. Para teolog Muslim (mutakallimîn) menyebut bahwa para Sofis bersikap skeptis terhadap pengetahuan.
Pandangan para Sofis yang meragukan pengetahuan dipandang dapat membahayakan keyakinan umat Islam yang dibangun atas epistemologi akidah atau keimanan yang bersandar pada pengetahuan kewahyuan. Konsep keraguan terhadap pengetahuan tampak terlihat dari perspektif para pemikir Islam dari abad ke-2 H. seperti Ibn al-Muqaffa’ dan Ṣalih b. ‘Abdul Quddus yang didasari tujuan menggantikan doktrin akidah Islam yang dibangun atas dasar primasi epistemologi kewahyuan dengan pendekatan rasional dan metode ilmiah (Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, 2007, p. 313).
Abû Manṣûr al-Maturîdî dalam Kitâb At-Tawhîd mencatat secara mendasar pandangan para Sofis yang mengingkari kebenaran pengetahuan dengan menganggap pengetahuan hanyalah bersifat persepsi belaka yang timbul dari pengalaman manusia sehari-hari dan bukan sesuatu yang bersifat pasti. Al-Maturîdî membantah pandangan ini dengan menyebut bahwa penafian para Sofis itu sendiri tidak rasional sebab mereka mengingkari sesuatu yang bersifat alamiah (ḍarûrî) yang kepastiannya tidak membutuhkan pembuktian, seperti pengalaman yang dialami indera manusia dalam pengecapan sensasi motorik, sehingga apa yang dirasakan merupakan pengetahuan itu sendiri.
Hal itu mengarah pada kesimpulan bahwa pandangan para Sofis sendiri tidak berdasar sebab ia juga merupakan pengetahuan, sehingga penyangkalan terhadap pengetahuan yang bersifat afirmatif berkonsekuensi pada penafian terhadap pengetahuan yang bersifat penyisihan itu sendiri. Lebih lanjut Al-Maturidî juga membantah penegasian kalangan Sufastaiyyah terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan inderawi, dimana Al-Maturîdî menyebut bahwa indera hanyalah sarana atau alat, dimana kesimpulan yang dicapai oleh setiap orang atas objek pengetahuan itu melalui penginderaan akan serupa dan perbedaan yang timbul dari indrawi bukan sesuatu yang bersifat bawaan pada indera tapi disebabkan aspek keadaan.
Al-Îjî juga menyimpulkan bahwa klaim keraguan atas pengetahuan yang dibuat para Sofis bersifat paradoks disebabkan ia juga dibangun atas dasar keraguan. Ibrâhîm Al- Al-Halâbî dalam Silk al-Nizhâm menyebut kelompok Sufastaiyyah terdiri atas golongan Al-Lâ Adriyah yaitu mereka yang berpandangan bahwa keraguan mereka ditujukan terhadap fenomena dengan sesuatu yang bersifat ilusif (fatamorgana), Al-Anâdiyah yaitu golongan yang berpendapat bahwa setiap pengetahuan proporsi-proporsi dari al-Badîhiyah dan al-Nazhariyah selalu saja terdapat penegasian dan lawan sepertinya, Al-‘Indiyah yang menganut keberagaman kebenaran (pluralisme) dimana setiap pihak memegang kebenaran yang bersifat analogis (qiyâsî), sehingga pada nafs al-amr (realitas) tidak ada sesuatu kebenaran.
Kendati pandangan para Sofis kerap bertentangan dengan para teolog, tetapi terdapat keterkaitan epistemologis di antara keduanya. Para Sofis dan teolog Muslim berpegang pada nilai-nilai kebenaran dari penalaran logis yang didasarkan pad serangkaian premis dalam konteks kehidupan. Para Sofis meyakini aksioma merupakan dasar utama moralitas bagi suatu masyarakat. []
Penulis: Syamsul Idul Adha, Akademisi Islam di UIN Ar Raniry Banda Aceh.
Redaksi
26 Nov 2025
Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …
Redaksi
23 Nov 2025
Kemelut yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada masa sekarang tahun 2025, bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan organisasi ini. NU sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia dengan ratusan jutaan warga dan ribuan pesantren tentu tidak luput dari dinamika internal, perbedaan pendapat, atau ketegangan antar-elitis. Dalam organisasi besar, gesekan adalah sesuatu yang …
Redaksi
14 Nov 2025
Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …
Redaksi
31 Okt 2025
Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …
Redaksi
28 Okt 2025
Absenya Etika dalam Politik Kita Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada …
Redaksi
24 Okt 2025
Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik …
10 Mar 2025 339 views
Setelah wafat KH. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ) pada 30 Desember 2009 banyak murid dan pengikutnya menyebut bulan Desember sebagai bulan Gus Dur. Berbagai ucapan, tulisan,opini, esai, meme, dan diskusi-diskusi bertemakan tentang pemikiran Gus Dur diselenggarakan, bertebaran banner, leaflet digital memenuhi linimasa media sosial kita. Jika boleh dikenakan dalam istilah sekarang Point of View (POV) Gus …
10 Mar 2025 363 views
Sepintas diskursus mengenai Islam dan Islamisme tidak ada paradoks ketika memahami dua makna terminologi ini. Secara pikiran sederhana tidak ada perbedaan, Islam dan Islamisme seperti jenis gambar mata uang yang sama. Namun, kalau kita telisik membaca sumber-sumber klasik islam maupun terminologi pandangan para sarjana modern secara cermat, pemahaman Islam dan Islamisme sangat berbeda. Meminjam bahasa Bassam …
14 Nov 2025 89 views
Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …
26 Nov 2025 52 views
Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …
10 Mar 2025 355 views
Suatu penelitian dianggap ilmiah jika memenuhi standar pengujian yang berbasis pada pengamatan. Sayangnya, ilmuan Barat selalu menganggap aktivitas pengamatan identik dengan ‘pengamatan indrawi’ yang berakar pada filsafat empirisme David Hume atau John Locke. Alhasil, apa yang dianggap ilmiah saat ini adalah hasil dari rumusan para filsuf dan saintis di abad-abad revolusi sains di Eropa pada abad …
21 Mei 2025 378 views
Bulan Dzulhijjah merupakan penanda adanya bulan Haji, untuk itu kaum muslimin dari kalangan yang mampu (istatho’a), baik mampu secara fisik, syariat dan finansial, di bulan haji mereka antusias berbondong-bondong untuk menunaikan rukun Islam ke-5 tersebut, tak terkecuali umat Islam di Indonesia, hatta jauh-jauh hari mereka menabung uang untuk beribadah haji ke tanah suci Makkah Arab …
26 Mar 2025 436 views
Bandung,lingkupminds.com – Pondok Pesantren Margasari Cijawura, Kota Bandung, menggelar Haul ke-35 K.H.R. Moch. Burhan atau Apa Eyang Rabu (26/3/2024) / Malam 27 Ramadan 1446 H. Acara tersebut mengangkat tema “Perjuangan dan Keteladanan.“ Cucu K.H.R Moch.Burhan, yaitu K.H.M. Asep Usman Rosadi menjelaskan bahwa tema tersebut mencerminkan pesan utama Apa Eyang, meletakan spirit perjuangan dan meneladani aspek-aspek …
Comments are not available at the moment.