Home » Opini » Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)

Redaksi 24 Okt 2025 30

Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik ditawarkan seorang Kiai pengasuh Pesantren Tradisional ini. Apalagi berhadapan dengan masalah kemunduran dunia Islam sekarang. 

Sebagai pengasuh Pesantren Cijawura dan Wakil Rois Syuriah PCNU Kota Bandung. Kiai Asep menunjukkan proses berpikir yang jernih dan artikulatif serta konstruktif pemikiran khas Pesantren Tradisional. Konstruktif dan manajerial progresif pada tubuh gerakan jam’iyah keagamaan tradisional (baca; ormas Islam NU) di lingkungan masyarakat perkotaan yang plural dan dihadapkan masifnya kelompok puritan. Ini menandakan Kiai tradisional cum progresif modern, jadi penanda “tajalinya” rasionalitas agama yang transenden dan imanen. Meski gagasan menyegarkan tentang pemikiran keislaman yang dilakukannya ditanggapi dingin oleh beberapa pihak. Akan tetapi bagi saya tiga penawaran epistemologi kritis Kiai Asep Cijawura tersebut sangat menarik dan perlu. 

Menjadi menarik dan perlu, bahwa konsep dari sosok Kiai Asep Cijawura ini, merupakan lahir dari seorang Kiai tradisionalis NU, yang bagi kalangan modernis kelompok tradisionalis selalu dianggap jumud,  dan perlu karena saat ini ide-ide mendasar tentang diskursus etika, terdengar langka dan hilang di tengah semrawut alam pikiran dan perilaku. Parameter seorang kiai berlatar belakang tradisional di Kota Bandung sependek pengetahuan saya, sangat langka seperti Kiai Asep Cijawura yang suka mendiskusikan hal serius tentang relasi agama, demokrasi, filsafat, sufistik, tradisi, etika, dan sains sekaligus. Selain Syafi’i (w. 820), Al-Ghazali (w.1111), Al-Hujwiri (w.1077), Wahbah Az Zuhaili (w.2015) menjadi tokoh yang panutan Kiai Asep, ialah Nikola Tesla (w.1943) seorang fisikawan dan ahli mekanika teknik listrik asal Serbia-Amerika menjadi inspirasinya tentang kecerdasan Tesla. 

Teori tasawuf mendasari corak pemikiran Kiai Asep Cijawura. Selain itu Kiai Asep juga getol melakukan analogi-analogi spiritual dengan analogi sains. Seperti elektromagnetik dan gelobang sinosiada dalam teori frekuensi. Ini menggambarkan seorang Santri tradisional yang bukan saja memahami corak keislaman klasik, akan tetapi juga punya kecakapan dan kecerahan pemikiran intelektual. Kiai Asep Cijawura tidak saja fasih dalam teori tasawuf, juga substil secara praktek. Ketika para darwis mengajarkan asketis, Kiai Asep juga sederhana dalam laku kesehariannya, tidak nampak seorang pemimpin Pesantren. Humble dalam bergaul, ini yang menjadi ikatan kuat di antara orang-orang yang selalu bersama dengannya, diikat bukan atas dasar kekayaan, tetapi dijalin oleh prinsip akhlak, ilmu dan zuhud.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kembali pada pembahasaan konsep tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian yang ditawarkan Kiai Asep Cijawura. Ini Mengingatkan saya pada diskursus para filsuf, terutama tentang etika, ethikos atau ethos dalam bahasa Yunani sebagai bagian dari akal budi. Bahkan abad ke-4 SM Aristoteles menulis karya tentang filsafat moral yang diberi nama “Nikomakea”. Etika Nikomakea karya Aristoteles menjelaskan etika sebagai pengetahuan tentang kebaikan dan pekerti, membentuk kebajikan melalui tradisi dan lingkungan. Pada abad ke-6 M dalam konsep Islam awal menyempurnakan etika atau “akhlak”, menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad SAW setelah menundukan politeisme. 

Kiai Asep Cijawura sebagaimana Syakib Arslan (w.1946) seorang ulama Mesir pernah mengajukan pertanyaan dalam judul risalahnya; “mengapa kelompok lain maju dan umat Islam mundur” ? (لماذا تأخر المسلمون ولماذا تقدم غيرهم). Bagi Arsalan umat Islam pada saat itu perlu reinterpretasi kembali pemikirannya. Demikian pula pertanyaan tersebut juga banyak dilontarkan para sarjana modern. 

Sebut saja salah satunya Ahmet T Kuru seorang sarjana Amerika kelahiran Turki. Pada tahun 2019 dia menulis buku dengan judul “Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison”. Buku tersebut sangat memukau dan massif dialih bahasakan ke berbagai bahasa di dunia, termasuk Indonesia dengan judul “Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan”. Buku Kuru ini  alih-alih banyak diperbincangkan para intelektual di dunia muslim, sekaligus dilarang didiskusikan di sejumlah negara muslim. Buku tersebut menyimpulkan salah satu dari sekian penyebab utama kemunduran kaum muslimin, menurut Kuru karena terjadinya kolaborasi ilegal antara ulama dan negara. Dan tahun 2022 berikutnya seorang jurnalis dan intelektual kebangsaan Turki, yaitu Mustafa Akyol menulis buku dengan judul “Reopening Muslim Minds” dalam buku tersebut Akyol berusaha menjelaskan tentang sebab-sebab kejumudan pemikiran umat Islam yang terjadi pada saat sekarang. 

Kegelihasan masalah tentang mandeknya pemikiran kaum muslim menjadi kegelisahan almarhum Cak Nur dan Gus Dur ketika mereka masih ada, sudah lama mereka berdua melakukan kritik atas kemunduran kaum muslimin tersebut. Untuk mencairkan pemikiran umat Islam Cak Nur mengajukan tawaran modernisasi Islam atau rasionalisasi Islam. Demikian juga dengan Gus Dur yang menawarkan ide perlunya umat Islam di Indonesia melekatkan diri pada konsep “Pribumisasi Islam” dan “Pluralisme”. 

Maka bagi Kiai Asep ada tiga konsep yang paling utama dan mendesak harus dilakukan umat Islam sekarang. Pertama. Etika (akhlak) dibangun secara kuat pada individu umat. Kedua. Pemikiran dan Perilaku Kaum Muslimin memiliki jiwa “Pembaharu”. Ketiga. Umat Islam selalu mandiri (merdeka). 

Menurut Kiai Asep termasuk harus direkonstruksi pemikiran tarekat yang jumud, agar tidak menjelma keakuan paling superior dari tarekat-tarekat lainnya, dan penting konsep transformasi sosial dalam tasawuf. Ini memerlukan konsep baru dalam merespon semangat masa kini. Meski sebagai Kiai yang lahir dari kalangan NU, Kiai Asep tetap berpijak pada kaidah “Almukhafadatu ala qodimi sholih wal-akhdu bil jadidil ashlah”.

Refleksi dan pengamatan tersebut berdasarkan latar sosiologis dan pengalaman yang dialami langsung Kiai Asep Cijawura. Problem Ini kata Kiai Asep menjadi amat sublim menyentuh langsung pada akar masalah, baik persoalan etika di masyarakat, pejabat dan pemuka agama. Dikaji dari berbagai aspeknya terutama di kalangan para politisi dan para Kiai di kalangan Pesantren, serta organisasi keagamaan (baca; ormas Islam). Kiai Asep lantang mengkritik mereka tentang tingkah laku dan kekacauannya. Ini Menjadi fokus pengamatan sangat serius dari refleksi, ke kritik. Ini dijadikan diskursus dalam mendalami topik etika, pembaharuan dan kemandirian, sebuah konsep dari seorang Kiai yang menyukai sejumlah konsep para tokoh Sufi dan filsafat serta sains modern ini. Bersambung….[]

Penulis : WS Abdul Aziz ( Pegiat Literasi Pemikiran Islam Klasik-Kontemporer di Komunitas LINGKUP dan Katib MWC NU Cicendo Kota Bandung ). 

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Maulid Nabi : Meneguhkan Nilai Tauhid dan Meneladani Akhlak

Redaksi

04 Sep 2025

Sejak kelahirannya Nabi Muhammad saw adalah manusia paling suci yang mana beliau tidak memiliki sedikitpun keburukan, beliau adalah seorang yang maksum. Moral etik selalu melekat dalam kesehariannya dan menyempurnakan akhlak menjadi misi utama dalam kerasulannya setelah menegakkan ajaran monoteis (Tauhid). Dua misi ini menjadi prinsip dasar ajaran Islam pada masa awal, yaitu doktrin Tauhid dan …

Memahami Otoritas Syuriah di Jam’iyah NU

Redaksi

24 Mei 2025

Sejak dulu otoritas Syuriah sebagai penentu kebijakan perkumpulan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan arah organisasi para ulama ini, bahkan lebih jauh arahannya ditunggu jamaah NU, dan bahkan pandangan terkait dengan dinamika politik Nasional isyaratnya sangat menentukan peta NU.   Otoritas Syuriah dalam wajah perkumpulan NU dipandang memiliki kekuatan khusus dari intelektual …

Haji Sarana Legitimasi Raja Jawa, Ngelmu dan Islamisasi di Indonesia

Redaksi

21 Mei 2025

Bulan Dzulhijjah merupakan penanda adanya bulan Haji, untuk itu kaum muslimin dari kalangan yang mampu (istatho’a), baik mampu secara fisik, syariat dan finansial, di bulan haji mereka antusias berbondong-bondong untuk menunaikan rukun Islam ke-5 tersebut, tak terkecuali umat Islam di Indonesia, hatta jauh-jauh hari mereka menabung uang untuk beribadah haji ke tanah suci Makkah Arab …

Ahmad Taufiq : 40 Tahun Lakpesdam NU antara Turats dan Menggerakan Ijtihad Sosial

Redaksi

10 Apr 2025

Empat dekade bukan sekadar hitungan usia. Bagi Lakpesdam NU, ini adalah cermin perjalanan panjang, dari sekadar pelengkap struktural menjadi nadi peradaban, dari ruang-ruang diskusi hingga menyentuh denyut masyarakat. Sebagai bagian dari keluarga besar Lakpesdam, saya merasa terpanggil untuk merefleksikan titik ini, adalah sebuah momentum penting dalam upaya menegaskan kembali posisi Lakpesdam sebagai Badan Perencanaan Strategis …

Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag-II)

admin

21 Mar 2025

Kemandirian adalah kemampuan seseorang, komunitas, masyarakat, organisasi, lembaga, instansi atau negara untuk mengatur diri sendiri, membuat kebijakan, keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, dan mengambil tindakan tanpa bergantung pada pihak lain. Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, dan mengembangkan potensi diri sendiri (sdm maupun sda), sarana dan prasarana dalam …

Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag 1)

admin

19 Mar 2025

Kemandirian adalah kemampuan seorang individu, masyarakat, organisasi, lembaga, instansi, komunitas, dan atau institusi negara untuk mengatur diri sendiri, membuat kebijakan, keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, dan mengambil tindakan tanpa bergantung pada pihak lain.  Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, dan mengembangkan potensi diri sendiri (baca; sumber daya manusia …

x
x