- WartaPembangunan Pusat Kajian Islam Asia Tenggara, Sebagai Amanat Gus Dur Akhirnya Terwujud
- WartaNgeri ! Lebih dari Satu Juta Orang Potensi Niat Bunuh Diri Setiap Minggu Ngobrol dengan chatGPT
- OpiniKiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)
- OpiniAhmad Taufiq : 40 Tahun Lakpesdam NU antara Turats dan Menggerakan Ijtihad Sosial
- OpiniHaji Sarana Legitimasi Raja Jawa, Ngelmu dan Islamisasi di Indonesia

Haji Sarana Legitimasi Raja Jawa, Ngelmu dan Islamisasi di Indonesia
Bulan Dzulhijjah merupakan penanda adanya bulan Haji, untuk itu kaum muslimin dari kalangan yang mampu (istatho’a), baik mampu secara fisik, syariat dan finansial, di bulan haji mereka antusias berbondong-bondong untuk menunaikan rukun Islam ke-5 tersebut, tak terkecuali umat Islam di Indonesia, hatta jauh-jauh hari mereka menabung uang untuk beribadah haji ke tanah suci Makkah Arab Saudi, lebih jauh kaum muslimin di Indonesia rela menunggu daftar haji bertahun-tahun lamanya.
Dari seluruh jamaah haji yang ada di Mekkah, orang Islam Indonesia—selama satu setengah abad terakhir—merupakan proporsi yang sangat besar. Pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia. Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup signifikan. Di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang Jawa merupakan salah satu kelompok terbesar. Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa arab. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama sekali. Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Bahkan ada kesan bahwa orang Islam Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. (Bruinessen, 2012 :3).
Ini menunjukan betapa antusiasnya sejak dahulu orang Indonesia melaksanakan ibadah haji, bahkan hingga sekarang ribuan orang muslim yang daftar tunggu demi untuk menunaikan rukun Islam ke-5 ini, mereka dengan rela menunggu antrian dan mengorbankan segala sesuatunya.
Semangat orang Islam Indonesia dahulu berhaji, selain penghambaan pada Tuhan untuk memenuhi panggilan-Nya, berhaji merupakan sarana komunikasi sosial-politik orang-orang Nusantara di Makkah dan sekaligus untuk ngelmu agama Islam.
Ka’bah yang berada di Makkah secara aksiologis merupakan kiblat semua umat islam di dunia ini. Meski pada abad ke-17 menurut sejumlah antropolog, Makkah secara umum bukan saja menjadi kiblat umat Islam akan tetapi menjadi tempat komunikasi politik untuk mencari legitimasi para Raja Jawa dan juga sekaligus tempat memperdalam ilmu pengetahun bagi orang-orang Asia secara umum atau ngelmu yang dibahasakan Martin Bruinessen.
Pada tahun 1630-an, kata Martin Van Bruinessen (2012:4) bahwa raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar ‘sultan’. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan Madinah) saja, memiliki spiritual atas seluruh dunia Islam. Rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 (sedang yang dari Mataram baru sampai pada tahun 164l). Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepada sang raja: antara lain suatu potongan dan kiswah, kain hitam yang menutup Ka’bah dan yang setiap tahun diperbaharui—yang tentu saja dianggap sebagai jimat yang sangat mangkus. Beberapa puluh tahun kemudian, pada pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa juga 5 naik haji. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji.
Karena bagaimanapun juga dalam kosmologi Jawa pusat kosmos titik temu antara dunia fana kita dengan alam gaib, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat ‘angker’ lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (‘ngèlmu’) alias kesaktian dan legitimasi politik (‘wahyu’—istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya). Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah tentu saja, sebagai pusat kosmos utama mereka. ( Bruinessen, 2012 : 4).
Gerakan Islamisasi masuk ke Indonesia dahulu salah satunya melalui ibadah haji. Melaksanakan haji selain menunaikan rukun Islam merupakan memiliki peran yang sangat penting dalam proses Islamisasi di Nusantara terutama di tanah Jawa. Ini dilihat bagaimana ulama-ulama Nusantara dahulu yang berangkat ibadah Haji tidak langsung pulang seusai melaksanakan ibadah tersebut, mereka banyak yang menetap di Makkah cukup lama untuk memperdalam pengetahuan agama Islam dari ulama-ulama di sana terutama memperdalam ilmu agama pada ulama Jawa yang sudah menetap lama di sana. Lalu sepulang dari Makkah para ulama Nusantara menyebarkannya Ilmu-ilmu tersebut di Indonesia.
Sebut saja Syaikh Yusuf Makassar, ia berangkat ke tanah Arab pada tahun 1644 dan baru kembali ke Indonesia sekitar tahun 1670. Ia belajar kepada banyak ulama besar, terutama ulama tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk mengajar berbagai tarekat. Yang dicari Yusuf bukan kesaktian saja. Di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim Al-Kurani di Madinah ia antara lain mempelajari filsafat, kalam dan tasawuf yang sangat sulit seperti Al-Durrah Al-Fakhirah karya ‘Abd Al Rahman Jami. Setelah Yusuf pulang ke Indonesia, ia bukan hanya menyebarkan tarekat Khalwatiyah saja tetapi punya peranan politik yang cukup penting sebagai penasihat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Ulama lain yang juga lama menetap dan memperdalam ilmu ilmu agama di Makkah dan Madinah adalah ‘Abd Al-Rauf Singkel, yang kemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. ‘Abd Al Rauf dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia dan sebagai penerjemah dan penyunting Tafsir Jalalain dalam bahasa Melayu. Gurunya yang paling penting di Madinah tidak lain dari Ibrahim Al-Kurani tadi. Pada masanya Ibrahim adalah ulama yang paling besar di Madinah, dan murid-muridnya datang dari seluruh dunia Islam. Melalui muridnya ia mempengaruhi gerakan reformis abad ke-18 di berbagai negara. Baik Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab di tanah Arab maupun Syah Waliyullah di India dan reformis Muslim Cina Ma Ming Xin telah belajar kepada murid-murid Ibrahim Al-Kurani. Selain Yusuf dan ‘Abd Al-Ra’uf barangkali masih ada banyak orang Indonesia lainnya yang telah belajar kepada ulama besar ini. Salah satu karya Ibrahim 10 ditulisnya khusus untuk murid-muridnya dari Indonesia, mungkin atas permintaan ‘Abd Al-Rauf. Tulisan ini merupakan komentar terhadap suatu teks wahdat al-wujud yang sangat populer di Indonesia, Tuhfah Al-Mursalah. (Bruinessen, 2012 :9-10).
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan betapa ibadah Haji selain penghambaan dan kepasrahan manasik Ibrahim, berhaji menjadi fungsi sosiologis orang-orang Nusantara. Para ulama Indonesia mencari ilmu di Makkah dan Madinah dan setelah pulang ke tanah air mereka mengajar dan menyebarkannya kepada masyarakat ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di tanah suci.
Maka dalam pandangan sosiologi agama setiap penghambaan selalu bersisi ganda, satu negatif (dalam pengertian luas) dan satunya lagi positif. Pada dasarnya seperti dua sisi mata uang apa yang terjadi pada ritus-ritus agama itu. Keduanya saling mengandaikan satu sam lain. Kesakralan dalam kajian sosiologi agama adalah apa-apa yang disisihkan yang diletakkan terpisah, keterpisahan dan keterputusan inilah yang menjadi demarkasi membedakannya dari hal-hal yang profan.(Durkheim.2011 :434).
Kembali tentang praktik keagamaan Islam orang Indonesia dahulu, kata Martin Van Bruinessen, bahwa praktik-praktik keagamaan Islam di Indonesia pada saat itu senantiasa mendapat koreksi dari sana juga. Islamisasi di Indonesia, menurut Bruinessen, perlu dilihat sebagai suatu proses yang sudah berlangsung sejak lama yaitu sejak abad ke-13 dan yang masih terus berlanjut sampai sekarang. Meski ia ragu siapa yang pertama-tama membawa Islam ke Indonesia—apakah orang India, Arab atau Cina—yang jelas bahwa sejak abad ke-17 menurutnya peranan utama dimainkan oleh orang Nusantara sendiri yang telah belajar di tanah suci terutama lewat sarana ibadah haji. Semua gerakan pemurnian dan pembaharuan di Nusantara, sampai awal abad ke-20, bersumber dari Makkah dan Madinah.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa tanah Arab dan para jamaah haji Indonesia yang bertemu di sana dengan saudara seakidah dari seluruh dunia Islam terutama di Makkah dan Madinah sebagai titik kumpul sarana sosiologis mereka, dan sekaligus sarana komunikasi politik para tokoh-tokoh Nusantara dalam menghadapi penjajah Belanda di tanah air. Juga terutama bagi mereka yang mau ngelmu agama langsung menetap di sana memperdalam agama kepada ulama-ulama mereka yang sama, dengan demikian mereka mengetahui perkembangan dan gerakan pada dunia Muslim lainnya. Pada akhirnya, perkembangan-perkembangan tersebut menyebar ke seluruh dunia Islam lainnya, juga berdampak berarti dalam proses politik dalam perlawanannya terhadap Belanda dan islamisasi di Indonesia.
Di sini dapat kita renungkan betapa perjalanan ibadah haji yang begitu melelahkan, juga menelan biaya yang tidak sedikit, tapi para ulama dan tokoh-tokoh Nusantara dahulu memberikan implikasi yang sangat berarti dalam penyebaran ajaran Islam di Indonesia. Sepulang dari ibadah haji orang-orang dahulu tidak ada tindakkan ingin memamerkan kekayaan karena ingin atau memamerkan pencapaian kesalehan yang dihubungkan dengan keakuan kedudukan dalam kepemilikan harta agar dapat terlihat atau pengakuan status sosial dari orang lain, namun implikasi ibadah haji para ulama dan tokoh-tokoh Nusantara dahulu adalah sangat berdampak pada kehidupan sosial yang nyata, juga implikasinya terhadap perjuangan politik melawan penjajahan Belanda, dan lebih terpenting juga dampaknya terhadap penyebaran agama Islam di Indonesia, meski ibadah haji memiliki relasi kuat dengan dimensi kesanggupan batin dan materi akan tetapi mereka tetap asketis. Wallahu ‘A’lam. [].
Penulis : WS Abdul Aziz, Pegiat Pemikiran Sosial Keagamaan di Komunitas Lingkar Percakapan Publik (LINGKUP) .
Redaksi
26 Nov 2025
Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …
Redaksi
23 Nov 2025
Kemelut yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada masa sekarang tahun 2025, bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan organisasi ini. NU sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia dengan ratusan jutaan warga dan ribuan pesantren tentu tidak luput dari dinamika internal, perbedaan pendapat, atau ketegangan antar-elitis. Dalam organisasi besar, gesekan adalah sesuatu yang …
Redaksi
14 Nov 2025
Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …
Redaksi
31 Okt 2025
Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …
Redaksi
28 Okt 2025
Absenya Etika dalam Politik Kita Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada …
Redaksi
24 Okt 2025
Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik …
24 Mei 2025 420 views
Sejak dulu otoritas Syuriah sebagai penentu kebijakan perkumpulan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan arah organisasi para ulama ini, bahkan lebih jauh arahannya ditunggu jamaah NU, dan bahkan pandangan terkait dengan dinamika politik Nasional isyaratnya sangat menentukan peta NU. Otoritas Syuriah dalam wajah perkumpulan NU dipandang memiliki kekuatan khusus dari intelektual …
10 Mar 2025 348 views
Suatu penelitian dianggap ilmiah jika memenuhi standar pengujian yang berbasis pada pengamatan. Sayangnya, ilmuan Barat selalu menganggap aktivitas pengamatan identik dengan ‘pengamatan indrawi’ yang berakar pada filsafat empirisme David Hume atau John Locke. Alhasil, apa yang dianggap ilmiah saat ini adalah hasil dari rumusan para filsuf dan saintis di abad-abad revolusi sains di Eropa pada abad …
26 Nov 2025 49 views
Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …
14 Nov 2025 84 views
Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …
09 Mar 2025 409 views
Bulan Ramadhan satu pekan lebih Insya Allah kita akan berjumpa dengan bulan penuh berkah, bulan tersebut merupakan bulan penuh ampunan, kita dituntut melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah swt, seperti puasa bagi orang-orang yang beriman yang sanggup untuk menjalankannya, juga bulan itu telah diturunkannya kitab-kitab suci, khususnya Al-Quran,dalam dimensi kemanusian atau sosial pada bulan Ramadhan diwajibkan mengeluarkan zakat …
26 Okt 2025 116 views
LINGKUP, Jakarta – Keluarga Besar K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengadakan acara peletakan batu pertama, menandai dimulainya pembangunan Pusat Kajian Islam Asia Tenggara KH Abdurrahman Wahid di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu, 25/10/2025. Istri dari Gus Dur, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa gagasan pembangunan pusat kajian tersebut berawal dari amanat langsung Gus Dur sebelum wafat. …
26 Mar 2025 430 views
Bandung,lingkupminds.com – Pondok Pesantren Margasari Cijawura, Kota Bandung, menggelar Haul ke-35 K.H.R. Moch. Burhan atau Apa Eyang Rabu (26/3/2024) / Malam 27 Ramadan 1446 H. Acara tersebut mengangkat tema “Perjuangan dan Keteladanan.“ Cucu K.H.R Moch.Burhan, yaitu K.H.M. Asep Usman Rosadi menjelaskan bahwa tema tersebut mencerminkan pesan utama Apa Eyang, meletakan spirit perjuangan dan meneladani aspek-aspek …
Comments are not available at the moment.