Home » Opini » Konflik PBNU : Historisitas, Oposisi Etik dan Integrasi Kekuasaan.

Konflik PBNU : Historisitas, Oposisi Etik dan Integrasi Kekuasaan.

Redaksi 15 Des 2025 27

Perselisihan internal dalam tubuh Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) bukanlah anomali dalam sejarah NU. Sejak berdiri 1926, jam’iyah NU mengalami berbagai ketegangan internal yang justru sering menjadi mekanisme penyesuaian organisasi. 

Akan tetapi, kemelut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada periode sekarang (2024–2025) memperlihatkan karakter yang berbeda dari konflik-konflik sebelumnya, khususnya jika dibandingkan dengan era Gus Dur (1984–1999). Perbedaan ini terletak bukan hanya pada aktor dan isu, melainkan pada struktur kekuasaan dan orientasi politik NU itu sendiri¹. 

Konflik NU Era Gus Dur, Kritik Dari Pinggiran Kekuasaan

  1. Konteks Politik dan Posisi NU

Pada era Gus Dur, NU berada dalam posisi oposisi kultural terhadap negara Orde Baru. Konflik internal NU—misalnya resistensi terhadap agenda pembaruan pemikiran dan keputusan kembali ke Khittah 1926—terjadi dalam konteks NU yang relatif berjarak dari kekuasaan formal². Kritik terhadap Gus Dur datang dari kalangan kiai sepuh, tetapi tetap berada dalam bingkai etika kultural dan tidak melibatkan mekanisme sanksi struktural yang keras.

  1. Legitimasi Kharisma

Kepemimpinan Gus Dur bertumpu pada legitimasi karismatik-intelektual. Meskipun sering menuai kontroversi, otoritas moralnya diakui luas, bahkan oleh para pengkritiknya. Konflik yang muncul lebih bersifat diskursif—perdebatan gagasan—bukan konflik administratif³.

Kemelut PBNU 2024–2025 Konflik

di Pusat Kekuasaan

  1. NU Sebagai Aktor Kekuasaan

Berbeda dengan era Gus Dur, PBNU kontemporer beroperasi dalam situasi di mana NU menjadi aktor penting dalam orbit kekuasaan negara. Di bawah kepemimpinan KH. Yahya Cholil Staquf, PBNU menampilkan wajah organisasi yang mapan secara struktural dan dekat dengan pusat kekuasaan. Konflik internal pun tidak lagi terjadi di pinggiran, melainkan di jantung organisasi⁴.

  1. Dominasi Legitimasi Legal-Rasional

Kemelut mutakhir ditandai oleh dominasi legitimasi legal-rasional: SK, struktur, dan garis komando. Kritik kultural dari pesantren sering kali tidak berbanding lurus dengan pengaruh struktural. Akibatnya, konflik menjadi asimetris—struktur kuat secara administratif, tetapi rentan secara kultural.

Kontinuitas Dan Diskontinuitas

Kontinuitas

Baik pada era Gus Dur maupun periode mutakhir, konflik NU sama-sama berakar pada ketegangan antara pembaruan dan tradisi. Selain itu, pesantren tetap menjadi sumber legitimasi simbolik utama NU⁵.

Diskontinuitas

Perbedaan mendasar terletak pada relasi NU dengan negara dan bentuk konflik. Pada era Gus Dur, konflik berlangsung dalam konteks NU yang mengkritik kekuasaan. Pada periode 2024–2025, konflik berlangsung ketika NU justru berada di dalam orbit kekuasaan. Hal ini mengubah watak konflik dari dialektika gagasan menjadi krisis legitimasi struktural⁶.

Analisis Politik-Kultural Kritis

Secara politik-kultural, kemelut PBNU mutakhir dapat dibaca sebagai pergeseran dari NU sebagai gerakan moral menuju NU sebagai institusi kekuasaan. Jika pada era Gus Dur konflik justru memperkuat identitas kritis NU, pada periode sekarang konflik berpotensi melemahkan otoritas moral NU akibat persepsi kooptasi politik.

Dalam istilah Gramsci, NU era Gus Dur berhasil memelihara hegemoni kultural, sementara PBNU kontemporer masih berjuang memperoleh persetujuan kultural atas hegemoni strukturalnya⁷.

Implikasi Historis Dan Tantangan Ke Depan

Perbandingan ini menunjukkan bahwa kemelut PBNU tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan administratif. Sejarah NU era Gus Dur memberikan pelajaran bahwa konflik internal justru dapat produktif bila dikelola melalui etika kultural, keterbukaan wacana, dan jarak kritis dari kekuasaan negara.

Tulisan  ini hendak menganalisa kemelut internal (PBNU) periode 2024–2025 melalui perbandingan historis dengan perselisihan-perselisihan NU pada masa kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).  Dengan pendekatan historiografi dan sosiologis, tentu tulisan ini menggambarkan bahwa meski friksi merupakan fenomena berulang dalam tubuh NU, terdapat pergeseran signifikan dalam pola konflik, sumber legitimasi, dan relasi NU dengan negara. Perbandingan ini menegaskan bahwa kemelut PBNU mutakhir menandai krisis politik-kultural yang lebih dalam dibanding konflik era Gus Dur.

Ala kulli hal, perselisihan PBNU 2024–2025 menandai fase historis yang berbeda dari konflik NU era Gus Dur. Jika konflik era Gus Dur berlangsung dalam konteks oposisi moral. Konflik mutakhir berlangsung dalam konteks integrasi kekuasaan. Perbedaan ini menjadikan kemelut PBNU saat ini lebih berisiko secara kultural. Tanpa refleksi historis dan koreksi etis, NU berpotensi kehilangan modal simboliknya sebagai penyangga Islam moderat dan kekuatan masyarakat sipil.[].

 

Bahan Bacaan  :

  1. Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Tradisionalisme Islam, Jakarta: Erlangga, 2006.
  2. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Yogyakarta: LKiS, 1998.
  3. Martin van Bruinessen, Traditionalist Muslims in a Modernizing World, Singapore: ISEAS, 2014.
  4. Greg Fealy & Robin Bush, NU dan Negara di Indonesia Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 2014.
  5. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, edisi revisi.
  6. Robert W. Hefner, Civil Islam, Princeton: Princeton University Press, 2000.
  7. Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, New York: International Publishers, 1971.

 

Penulis : KH. Asep Usman Rosadi ( Pimpinan PP Cijawura Kota Bandung).

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Mengintegrasikan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

Redaksi

26 Nov 2025

Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …

Belajar dari Sejarah, Kepemimpinan Ulama dan Arah Perbaikan Konstitusi

Redaksi

23 Nov 2025

Kemelut yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada masa sekarang tahun 2025, bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan organisasi ini. NU sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia dengan ratusan jutaan warga dan ribuan pesantren tentu tidak luput dari dinamika internal, perbedaan pendapat, atau ketegangan antar-elitis. Dalam organisasi besar, gesekan adalah sesuatu yang …

Ibnu Rusyd Pemikir Muslim Independen

Redaksi

14 Nov 2025

Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd  atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …

Penguasa Kakistokrasi

Redaksi

31 Okt 2025

Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (II)

Redaksi

28 Okt 2025

Absenya Etika dalam Politik Kita Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)

Redaksi

24 Okt 2025

Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik …

x
x