Sepintas diskursus mengenai Islam dan Islamisme tidak ada paradoks ketika memahami dua makna terminologi ini. Secara pikiran sederhana tidak ada perbedaan, Islam dan Islamisme seperti jenis gambar mata uang yang sama.
Namun, kalau kita telisik membaca sumber-sumber klasik islam maupun terminologi pandangan para sarjana modern secara cermat, pemahaman Islam dan Islamisme sangat berbeda. Meminjam bahasa Bassam Tibi (2016) contraditio in terminis makna Islam dan Islamisme itu. Sebagaimana Tibi, seperti seorang ulama asal Mesir Muhammad Said Al-Asymawi dalam kitabnya Usul al-Syari’ah, ia juga membedakan antara makna agama dan paham keagamaan.
Diksi Islam dan Islamisme akan terus menjadi dialektika atau diskursus panjang para sarjana muslim sampai saat ini, sehingga memicu lahirnya terminologi tentang studi islamologi baru.
Kalau kita menelaah sumber-sumber kitab klasik Islam jarang kita jumpai kata “ Islamisme”/ islamiyin, kita lebih sering menemukan teks Islam/salam/taslim /aslam/salam dan bentuk kalimat berbeda lainnya.
Bahkan dalam Al-Quran sendiri sebagai rujukan kaum muslimin term mengenai “ Islamisme”/ Islamiyin tidak pernah kita jumpai. Sedangkan teks “Islam” dalam berbagai bentuk dan makna setidaknya kurang lebih ada 100 kata terdapat dalam berbagai surat dalam Al Quran. Zonder ujaran “Islamisme”/Islamiyin, demikian informasi pada kitab Mu’jam Mufahras Li Alfadz Al Qur’an, Karya Fuad Abdul Baqi .
Kajian Islam dan Islamisme sangat penting dipahami oleh masyarakat muslim Indonesia, khususnya. Kata Fazlur Rahman (1919-1988) seorang Intelektual muslim neomodernis, menurut dia umat muslim harus memiliki perspektif luas dan objektif melihat sejarah agamanya, khususnya mempraktekan ajarannya. (Rahman,2003).
Islam
Islam merupakan ajaran agama yang relatif berhasil, dibanding dengan agama agama lain. Nabi Muhammad keluar dari Kota Mekah pada tahun 622 dan hanya delapan tahun kemudian kembali ke Mekah sebagai penguasa. Gagasan, Etika, akhlak dan puisi, Mekah ditaklukan. Tidak ada antagonisme dalam menaklukkan Mekah.
Kaum muslim berawal sebagai kelompok yang belum naik kelas di Arab. Tetapi dalam kurun waktu satu abad sudah menguasai kawasan itu. Mulai dari Spanyol hingga India. Katakan pada 1000 tahun Islam berada di puncak, terlepas dari indeks keberhasilan dunia yang dilihat orang; dalam bidang kesehatan, kekayaan, budaya literasi, kebudayaan dan kekuasaan. Asosiasi ini menjadi biasa dan fashionable. Khususnya pada abad pertengahan Islam sudah tidak bisa dilihat sebelah mata. Sumbangan terbesar Islam kala itu adalah kebudayaan ilmu pengetahuan di mana pada saat itu dunia Barat masih mengalami kegelapan.
Memahami Islam, orang harus belajar mulai dari akar masa Islam perdana, seperti memahami kepasrahan dan ketulusan serta akhlak dan ilmu pengetahuan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Dalam istilah lain memahami dan mengkaji islam klasik dengan komprehensif atan holistik sebagai keyakinan bukan sebagai ideologi politik.
Islam sebuah agama yang kini memiliki nyaris satu miliar lebih penganutnya. Kesetiaan orang orang muslim terhadap Islam benar-benar mengagumkan: Kaum Muslim nyaris tidak pernah meninggalkan iman mereka guna mendukung iman lain. Dengan memahami Islam secara mendalam dan menyeluruh orang akan semakin religius dan berkeadaban.
Karena, orang beragama belum tentu religiusnya tinggi atau kandungan nilai nilai akhlak belum tentu terpatri pada pemeluk agama. Misal, ajaran Islam mengajarkan kebersihan belum tentu pemeluknya semua menjaga kebersihan, akan tapi di lain pihak ada penganut di luar Islam menjaga kebersihan bahkan seorang ateis sekali pun.
Jadi, pada saat yang sama ada kelompok bukan pemeluk Islam bahkan tidak memeluk agama. Tapi pada prakteknya dia menjalankan ajaran Islam, itulah apa yang dinamakan orang religius. Islam dalam praktek seperti ini adalah sebagai agama dan peradaban bukan sebagai ideologi politik.
Islamisme
Islamisme pemahaman yang menuntut manusia untuk sepenuhnya patuh kepada hukum suci Islam dan menolak sekuat-kuatnya pengaruh luar agama Islam, tanpa kecuali. Upaya ini dibangun dengan antagonis yang mendalam terhadap kelompok non muslim dan dengan perasaan permusuhan serta ujaran kebencian, khususnya terhadap dunia Barat. Sikap itu berdampak pada upaya untuk mengubah Islam, sebagai agama dan peradaban bahkan lebih jauh jadi sebuah idelogi politik.
Kata “Islamisme” sangat tepat karena ia adalah sebuah “isme”, seperti isme lain seperti fasisme dan nasionalisme. Islamisme mengubah gradasi dan serpihan dalam Islam yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan urusan militer menjadi program utama dan sistemik. Meminjam Jams P. Piscatori yaitu “Islamic Politics”.

Islamisme menawarkan beragama dengan cara pendekatan dan proteksi kekuasaan negara secara total. Ia terang-terangan mengandalikan kekuasaan negara untuk tujuan koersif.
Penulis berasumsi, Islamisme masih seperti skema utopia radikal abad dua puluh yang berbeda. Tidak ubahnya seperti Marxisme-Leninisme dan fasisme. Kelompok islamisme pun sama menawarkan cara mengontrol negara, mengelola masyarakat dan membangun kembali manusia dalam doktrin agama yang mereka pahami. Jadi, versi totalitarianisme ala Islamisme. Tentu saja, detail nya sangat jauh berbeda dari versi-versi sebelumnya, tetapi tujuan akhirnya sangat mirip.
Pada perkembangan selanjutnya Islamisme merupakan transformasi total atas Islam tradisional sebagai kendaraan modernisasi. Misal, kelompok Islamisme di banyak tempat negara muslim mereka mendirikan partai politik berupaya secara formal berada di dalam parlemen dan begitu masif melakukan gerakan jalanan di luar formal seperti demo-demo dengan jargon jargon Islam dan jihad.
Demokrasi, suka tidak suka bagi kelompok islamis telah memberi manfaat pada kebebasan mereka peluang bagi memunculkan ekspresi agama dalam kutub paling ekstrim sekalipun. Sejumlah kelompok Islamis juga sangat fasih meneriakkan idiom-idiom demokrasi dan menggunakan lembaga-lembaga demokrasi sebagai sarana untuk capaian perjuangan mereka.
Di banyak negara muslim seperti; Indonesia, Malaysia, Iran, Maroko, dan Mesir kelompok Islamisme ikut bersaing menggunakan prosedur elektoral. Namun sebagian besar mempraktekan lewat prosedur non-demokrasi. Arab Saudi misalnya.
Ada banyak kajian yang mengatakan bahwa Islamisme lahir merupakan reaksi terhadap modernisasi masyarakat muslim, Islamisme merupakan produknya. Islamisme bukan sebuah program abad pertengahan tetapi sebuah program yang menanggapi tekanan dan hambatan di abad kedua puluh.
Menurut Bassam Tibi (2016) doktrin paham Islamisme secara sistemik dikembangkan, dan dipropagandakan pertama kali dengan istilah “harbu al-afkar”, atau perang pemikiran merupakan formulasi konsep jihad yang gelorakan oleh Sayyid Qutb dan Hasan al Bana sebagai perseteruan iman atau islam dengan kafir ( baca Yahudi, Kristen dan semua yang tidak sepaham dengan kelompok mereka).
Perang abadi antara mu’min dan kafir oleh Qutb, kata Bassam Tibi, terdapat dalam kitab Hasan Al Bana Risalatul Jihad dan Sayyid Qutb Ma’rakatuna Ma’al Yahud (pertarungan kita dengan Yahudi). Sikap ini selain atas nama agama, dikonatasikan bagaikan geopolitik Islam sedang ditindas dan di kepung oleh bangsa bangsa/agama selain Islam khususnya Yahudi dan Kristen.
Paham Islamisme banyak diorganisir oleh kelompok jihadis. John L. Esposito (1995) mengatakan kelompok kelompok jihadis pada kenyataannya mereka tidak berbicara Islam (baca; sebagai agama dan peradaban) — sebagaimana sering dituduh Barat selama ini.
Bahkan secara politis kelompok kelompok jihadis banyak mengeksploitasi Islam. “Jihad” sering kali dipahami secara sempit, meskipun berdasarkan pada informasi primer Islam Al Quran dan Hadits tidak mempunyai konotasi militer secara khusus.
Kelompok Islamisme/Islam Politik/jihadis atau apapun namanya intinya adalah bagaimana mereka bisa menjadikan agama sebagai negara ( al Din wa al Daulat) atau kata lain memberlakukan ¨Syariah Islam,¨ hukum pidana Islam secara khusus.
Menjadi pertanyaan kerap membayangi penulis adalah ; mengapa para Islamisme tidak pernah mengambil pelajaran dari banyak peristiwa klasik Islam di masa lalu maupun pada negara negara Islam yang melakukan eksperimen yang gagal dalam memberlakukan negara agama di era modern?.
Faktanya pada zaman sekarang di banyak negara muslim yang menerapkan hukum agamannya di mana pertumbuhan ekonomi per-kapita yang rendah. Tingkat literasi sangat kurang dan pendidikan jauh tertinggal. Life Span, harapan hidup sangat pesimis. Ironi pada kelompok mereka semua hal-hal berbau kemunduran peradaban, akan tetapi semuanya oleh mereka dimaklumkan yang penting negara berdasarkan syariat Islam.
Alih alih akan memberikan garansi pada kesejahteraan dan hak-hak politik serta hak hak kebebasan umat. Para Islamisme tersebut tidak serius membenahi apa yang disebut para ulama tentang Maslahat al Mursalat dan kesejahteraan umat serta peradaban Islam itu sendiri. []
Penulis adalah WS Abdul Aziz, Sekretaris Forum Jurnalis Jabar (FJJ) dan Katib MWCNU Cicendo Kota Bandung.
Comments are not available at the moment.