Home » Opini » Maulid Nabi : Meneguhkan Nilai Tauhid dan Meneladani Akhlak

Maulid Nabi : Meneguhkan Nilai Tauhid dan Meneladani Akhlak

Redaksi 04 Sep 2025 239

Sejak kelahirannya Nabi Muhammad saw adalah manusia paling suci yang mana beliau tidak memiliki sedikitpun keburukan, beliau adalah seorang yang maksum. Moral etik selalu melekat dalam kesehariannya dan menyempurnakan akhlak menjadi misi utama dalam kerasulannya setelah menegakkan ajaran monoteis (Tauhid). Dua misi ini menjadi prinsip dasar ajaran Islam pada masa awal, yaitu doktrin Tauhid dan Akhlak yang dibawa dalam kerasulan beliau. “Tidaklah aku diutus ke muka bumi ini melainkan untuk menyempurnakan akhlak,” demikian dalam sebuah keterangan.

Dalam misi utama ajaran Nabi Muhammad saw bagaimana manusia itu mampu bertauhid, ini sebagai pondasi dalam keyakinan (akidah) umat Islam, agar segala bentuk penghambaan kebendaan, keangkuhan manusia dihancurkan dengan ajaran Tauhid, selain itu pula ajaran Tauhid untuk tidak menunjukkan  setiap individu merasa paling superior yang lain inferior. Tauhid untuk menghancukan keponggahan manusia terhadap yang lainnya, sekaligus agar kita memahami semua kebendaan di dunia ini tidak akan abadi. Meminjam bahasa Jalaluddin Rumi memaknai keesaan Tuhan, untuk membedakan dengan makhluk yang selalu memiliki makna ganda (dualisme) yang selalu ada padanan (tanaqudh).

Menanamkan prinsip-prinsip akidah Tauhid adalah pendekatan paling prinsipal dalam ajaran Islam, agar manusia bisa memaknai dirinya tidak lebih dari taburan debu yang lemah, dan hanya bongkahan tanah liat yang rendah. Ajaran tauhid ditanamkan agar manusia bisa paham bahwa apa yang berada pada dirinya  merupakan titipan Tuhan dan sekaligus bahwa dirinya ada yang Menciptakan, dan tidak ada pencipta selain Allah. Untuk itu “Manusia dan Jin diciptakan melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya.”/ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Kelahiran Nabi Muhammad membawa misi bahwa usaha pembebasan manusia dari kepentingan diri lewat tauhid sejati “the true tauhid”. Tauhid mengajarkan tentang kebenaran absolut bahwa “tidak ada tuhan melainkan Allah” dan bahwa hanya Allah yang wajib dipuja. Ini merupakan intisari dari ajaran Tauhid. Demikian pula meyakini hal yang ghaib merupakan salah satu dimensi dalam ajaran Tauhid, karenanya Allah dalam teologi Islam adalah Maha Ghaib. 

Dalam ayat Al-Quran surat al-Baqarah pada permulaan suratnya menyebut bahwa orang yang bertaqwa adalah salah satunya dicirikan dengan beriman pada suatu yang ghaib. Maka kesadaran ajaran Islam itu kata Henry Corbin (w.1978) pada kenyataanya terpusat pada metahistoris. Dengan demikian prinsip dasar dalam ajaran Tauhid dibangun pada enam prinsip keimanan (Rukun Iman): Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir. Keenam rukun iman tersebut menjadi pondasi dalam ajaran tauhid untuk selalu dipegang teguh umat Islam.

Prinsip dalam Islam pada dasarnya merupakan untuk mencapai kemerdekaan pribadi lewat ajaran tauhid yang sesungguhnya (the true tauhid) dalam kebenaran mutlak Allah yang wajib dipuja dan disembah, segala sesuatu selain-Nya merupakan bukan suatu yang mutlak. Kesadaran Islam adalah kewarasan teologis untuk menggerakan rohani manusia, seperti berakhlak, wara, zuhud, taubat dan seterusnya. Karakter quranik dalam ajaran Islam mencerminkan sikap yang jelas. Meski dalam ajarannya ada  terdapat diferensial dalam praktik penetapan ajarannya terutama hukum fikih.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Nabi Muhammad merupakan pemimpin yang didambakan, dan bagi setiap muslim memiliki kewajiban mencontoh perilaku Nabi dalam kesehariannya. Saat  Aisyah ditanya tentang perilaku keseharian Nabi, ia menjawab ; perilaku nabi adalah  etika Al-Quran. Aisyah menggambarkan bahwa Rasulullah kesehariannya mencerminkan sikap Firman Allah, ketika berperilaku dan bertindak, etika qur’an menjadi sandaran utama dalam ajaran Rasulullah dan doktrin Islam. 

Maka dengan itu gambaran akhlak yang sempurna sebagai identitas dalam ajaran Islam tercermin pada diri Nabi Muhammad saw.  Allah memuji Nabi Muhammad saw dalam Firman-Nya. Innaka la’ala khuluqin adzim “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”QS. Al-Qalam :4. Kata Fakhruddin Ar-Razi (w.1210) ayat ini memiliki korelasi dengan ayat sebelumnya, sebagai bantahan bagi orang-orang yang menuduh Nabi seorang yang gila. Kata Ar-Razi bahwa tuduhan tersebut keliru atau dusta dan salah. Karena bagaimanapun seorang yang berakhlak itu baik, dan perbuatannya yang menyenangkan sesuatu yang tidak bisa dibantah, sangat jelas hal itu ada pada diri Nabi Muhammad saw, dan siapa saja yang digambarkan dengan akhlak dan perbuatan tersebut, maka tidak boleh dikatakan gila kepadanya, karena perbuatan orang gila itu buruk, dan karena akhlaknya yang tersebut baik telah sempurna. Maka tidak mengherankan jika Allah menggambarkan Nabi sebagai manusia yang agung. (Tafsir Mafatih Al-Ghaib. Juz.30. Hlm.80. Darul Fikr. Beirut. Libanon).

Masih menurut Fakhruddin Ar-Razi akhlak merupakan kekuatan mental psikis yang mana dapat memudahkan manusia yang punya akhlak untuk selalu melakukan perbuatan baik.  Kata Ar-Razi bahwa melakukan perbuatan baik itu tidaklah mudah, dan bila memiliki kemudahan untuk beramal shaleh itu merupakan sumber perbendaharaan yang luar biasa. Memiliki kemudahan dalam amal shaleh itu terwujud dalam akhlak, dan akhlak yang baik itu meliputi sikap menghindari terhadap sifat kikir, pemarah, bersikap tegas dalam bergaul, perkataan dan perbuatannya disenangi orang lain, meninggalkan eksklusivisme dan individualisme, bersikap lunak dalam perjanjian-perjanjian seperti jual beli dan lain-lain, dan bersikap lunak terhadap apa yang dituntut dari hak-hak orang yang masih berkerabat dengannya atau yang bukan dari kerabatnya.

Dalam Islam, Authorianism, and Underdevelopment : A Global and Historical Comparison karya Ahmet T Kuru (2019). Ketika Barat sebelum menawarkan apa yang disebut The Civilizing Process, pada abad ke-18. Kata Norbert Elias pada abad ke-16 dan ke-17. Buku-buku dan kedisiplinan di Eropa Barat sejak abad ke-16 hingga seperti tidak membuang ingus di pakaian, menghindari bau tidak buku etiket menjelaskan cara mencuci tangan dan mandi, sedap seperti bau bawang putih, dan berpakaian layak saat tidur. Menunjuk aristokrasi santun sebagai panutan dan borjuasi sebagai faktor penting dalam kemajuan mereka pada saat itu. Umat Islam jauh sebelum itu, sudah mengajarkan tentang etika adab-adab etika keseharian dari hal-hal yang paling sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari, sebut saja abad ke-11 Imam Al-Ghazali menguraikan pedoman etika. Pedomannya meliputi sebagai berikut: Perilaku apakah makanan itu halal dan diperoleh secara halal; cuci tanganmu; letakkan makanan di atas karpet lantai, duduk dengan benar; puaslah dengan apa yang tersedia; hindari makan sendirian dan jangan diam saja ketika makan; jaga setiap suapan jangan terlalu besar dan kunyah dengan baik: makan apa yang paling dekat denganmu di antara  semua yang dihidangankan; jangan meniup makanan panas;wajahmu menjauh dari makan; jika kamu mengeluarkan sesuatu dari mulutmu, alihkan wajahmu menjauh dari makanan; jangan mencelupkan sepotong makanan yang sudah digigit sendiri ke hidangan bersama: berhenti makan sebelum perutmu kenyang; dan, terakhir, cuci tangan lalu bersihkan mulut dan gigi. Hal ini bahkan telah dilandaskan sendiri pada masa Islam awal, yaitu pada diri Nabi Muhammad saw dan lalu diajarkan kepada para sahabatnya serta para ulama sebagai pewarisnya.

Menghadirkan substansi agama dan pesan-pesan etik merupakan ajaran yang harus lebih dikedepankan, meminjam bahasa mendiang almarhum Kang Jalal; “mendahulukan akhlak diatas fiqih.” Terlebih dalam konteks sekarang yang mana di berbagai sendi kehidupan pesan moral dan etika telah absen pada anasir agama, sosial, hukum, dan politik kita, bahkan pada titik terendah ritual-ritual telah mampu menihilkan moral. Bukankah nabi diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak (etika)?.

Islam sebagai agama universal dipahami sebagai agama yang melengkapi ajaran-ajaran agama yang turun dari langit sebelumnya dan relevan hingga akhir zaman. Realitas  sosial terkait perubahan yang telah terjadi di masyarakat sebagai tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Namun pada tataran ini, universal ajaran Islam, sebagai pandangan sekaligus ajaran hidup, dihadapkan pada realitas historis berupa apa yang banyak disebut sebagai kemunduran secara moral. Realitas ini menggambarkan bahwa dalam perkembangan terakhir etika Islam gagal diinternalisasi oleh sebagian besar permukaannya sehingga masyarakat muslim secara umum tidak memadai transformasi etos Islam tersebut dan pada gilirannya menempatkan masyarakatnya pada posisi statis dalam realitas sejarah yang sangat dinamis dan cepat mengalami perubahan zaman. Untuk itu ‘Maulid Nabi” hendaklah dijadikan momentum kembali menghidupkan akar ajaran Islam yang dibawa baginda Nabi Muhammad saw yaitu  ajaran Tauhid dan Akhlak. Wallahu ‘A’lam [].

 

Penulis : WS Abdul Aziz adalah Pegiat Pemikiran Islam Klasik dan Kontemporer di Komunitas LINGKUP.

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Konflik PBNU : Historisitas, Oposisi Etik dan Integrasi Kekuasaan.

Redaksi

15 Des 2025

Perselisihan internal dalam tubuh Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) bukanlah anomali dalam sejarah NU. Sejak berdiri 1926, jam’iyah NU mengalami berbagai ketegangan internal yang justru sering menjadi mekanisme penyesuaian organisasi.  Akan tetapi, kemelut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada periode sekarang (2024–2025) memperlihatkan karakter yang berbeda dari konflik-konflik sebelumnya, khususnya jika dibandingkan dengan era Gus Dur …

Mengintegrasikan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

Redaksi

26 Nov 2025

Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …

Belajar dari Sejarah, Kepemimpinan Ulama dan Arah Perbaikan Konstitusi

Redaksi

23 Nov 2025

Kemelut yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada masa sekarang tahun 2025, bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan organisasi ini. NU sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia dengan ratusan jutaan warga dan ribuan pesantren tentu tidak luput dari dinamika internal, perbedaan pendapat, atau ketegangan antar-elitis. Dalam organisasi besar, gesekan adalah sesuatu yang …

Ibnu Rusyd Pemikir Muslim Independen

Redaksi

14 Nov 2025

Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd  atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …

Penguasa Kakistokrasi

Redaksi

31 Okt 2025

Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (II)

Redaksi

28 Okt 2025

Absenya Etika dalam Politik Kita Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada …

x
x