Home » Opini » Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (II)

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (II)

Redaksi 28 Okt 2025 57

Absenya Etika dalam Politik Kita

Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada di “moral”, terutama absennya moral etika para politisi. Bagi kiai Asep, politik atau kekuasaan tanpa diiringi etika, seperti manusia berjalan tanpa kepala.

Sejumlah persoalan mendasar saat para politisi ketika mencapai puncak kekuasaan dalam politik, juga memprihatinkan apa yang terjadi pada kekuasaan para pemuka agama dalam setiap ormas-ormas. Kiai Asep menilai ada praktek kekeliruan yang sangat serius. Saat mereka mencapai kemenangan politik dan kekuasaan, mereka abai soal etika politik. Pencapaian mereka dalam karir politik, sudah tidak melihat dari baik dan buruk dalam konsep etika Islam maupun diskursus demokrasi. 

Mereka terkesan menghalalkan segala cara dan para politisi berdalih melakukan kekeliruan secara etik, bagi mereka  seperti norma politik dan lumrah katanya. Melakukan kekeliruan dalam memenangkan kompetisi ketika meraih kekuasaan, seperti sudah menjadi kompetisi normal dalam setiap perhelatan suksesi kekuasaan. Pikiran dan praktek semacam itu banyak dikritik oleh Kiai Asep, baginya konsep tersebut keliru yang tidak bisa diterima akal sehat.

Menurut analisanya, para politisi sekarang banyak melakukan nir-etik dalam politik, berbagai cara dilakukan para oportunis demi meraih kekuasaan negara dan kemenangan dalam kontestasi. Mereka tidak memperjuangkan ideologi atau ide, akan tetapi dalam refleksi Kiai Asep, mereka bagaimana memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaan, minim konsep dan dialektis. Meski notabene menurutnya secara dzahir merupakan kelompok terhormat yang memiliki keadaban dan bahkan memiliki kecakapan kognisi agama. Paling aneh menurut Kiai nyentrik ini, mereka kuasa melakukan tujuan politik dengan menghalalkan segala cara melampaui kepantasan sebagai orang terhormat dan tokoh agama. 

Dalam kritik moral Kiai Asep absennya etika politik sebagai laku hidup politisi, salah satu penyebab timbulnya kemerosotan moral dalam berbagai aspek. Mereka telah mendegradasi etika sebagai falsafah hidup dan tuntunan agama. Mereka membuang etika ke dalam jurang yang amat dalam. Kiai Asep juga mengkritik pemuka agama yang mencoba melakukan normalisasi terhadap perbuatan nir-etik para penguasa atau politisi dengan dalil-dalil agama. Kini menurut Kiai Asep ketiadaan etika seperti mencari “tukang es di musim hujan”  di kalangan para elit  politik dan agama begitu mereka tolerir sebagai norma keseharian. Karakter manusia-manusia semacam ini menurut Kiai Asep telah melakukan normalisasi hidup yang bertentangan dengan ajaran agama dan etika. 

Semua itu dapat digambarkan dalam fakta kehidupan di era apa yang disebut post truth seperti yang terjadi belakangan. Sehingga kata kiai Asep rutinitas mereka mengabsenkan nilai-nilai luhur esensi ilahi yang amat agung. Dalam kegelisahannya, kiai Asep menyebut bahwa manusia sekarang dalam memenuhi esensi religiusitasnya, sudah tidak menjadi skala utama mereka, bahkan lebih jauh lagi, lupa atau melupakan. Apa yang disebut “fenomena Religius” dalam deskripsi ilmuwan sosiologi, Emile Durkheim (w.1917) hanya pemandangan fatamorgana seperti yang sulit bisa diwujudkan. 

Etika Legasi Para Nabi 

Menurut kiai Asep, autentisitas praktek tradisi dan naratif-naratif tradisi dalam karakter jati diri manusia modern sudah tidak dianggap penting dan tidak lagi memiliki relevansinya dalam kompetisi politik yang mereka lakukan. Bagi kiai Asep, jika telah mengabaikan akhlak, perbuatan tersebut sulit dibenarkan dalam bentuk konsep apapun. Maka, bagi kiai Asep etika atau akhlak menjadi kunci untuk semua aspek kehidupan, terlebih akan membangun maslahat bagi umat. 

Kiai Asep menegaskan bahwa para filsuf secara umum mencermati etika mengacu pada tindakan manusia pada akal budi dan intuisi. Sedangkan etika dalam ajaran agama penilaiannya terdapat pada pesan-pesan ilahi dan nabi. Dalam kata lain akhlak yang disandarkan pada pesan teks Al-Quran dan Sunnah. Maka menurut kiai Asep kedua sumber utama ini menjadi doktrin paling mendasar dalam ajaran akhlak.

 Lebih jauh kiai Asep mendeskripsikan relasi ajaran tasawuf dan etika selalu koheren. Sufi yang sudah melampaui makamnya, tentu selalu menekan etika atau akhlak sebagai fondasi utama. Pandangan tersebut, selaras dengan Shihab al-Din ‘Umar al-Suhrawardi (w. 1234) dalam karyanya Awariful-Ma’arif; bahwa menjadi seorang Sufi dirinya harus menerima (ridha) dan mujahadah (berjuang serius) meraih akhlak yang baik. Karenanya menurut Al-Suhrawardi  berapa banyak jiwa yang memenuhi panggilan kewajiban ritual agama, akan tetapi abai terhadap transformasi akhlak. 

Maka dengan demikian kata Al-Suhrawardi jiwa-jiwa ahli ibadah hanya memenuhi panggilan amal, dan mengabaikan akhlak, serta jiwa-jiwa asketis hanya memenuhi sebagian panggilan akhlak, sedangkan jiwa para Sufi pasti memenuhi semua akhlak. Bahkan kata Abu Bakar al-Kattani mempertegas bahwa; tasawuf adalah akhlak, maka barangsiapa yang melampaui jiwanya dalam akhlak, maka dia melampaui dalam tasawuf.

Sebagaimana para filsuf dan ulama Islam klasik di masa lampau, kiai Asep dalam berbagai diskursus keIslaman selalu menawarkan pentingya “etika”. Ini menjadi dasar yang fundamental dalam berbagai kajiannya. Kiai Asep beralasan Nabi Muhammad SAW diutus menjadi “Nabi” setelah membangun monoteisme (tauhid) adalah menyempurnakan “akhlak”. Maka dengan demikian  pewarisnya yaitu para ulama berkewajiban mengedepankan etika dan selalu menjaga semua warisan para nabi-nya. Oleh karena itu adagium; kiai dan santri sebagai penjaga moral, tidak berlebihan. Karena kiai dan santri merupakan pilar pendidikan Islam yang membangaun peradaban ilmu agama dan etika.

Etika menjadi tawaran penting dari kiai Asep Cijawura agar selalu menjadi pilar utama. Pada tahap ini menurutnya manusia akan menjadi manusia, karena landasan etisnya bukan parameter keberhasilan dan kemenangan. Tawaran kiai Asep Cijawura ini, deskriptif secara teori tapi sekaligus perspektif menawarkan bagaimana menjadi  transformatif  dalam kehidupan keseharian, bahwa etika menjadi kunci jawaban kemaslahatan umat.[]. Bersabung……

 

Penulis ; W.S Abdul Aziz, Pegiat Literasi dan Kajian Pemikiran Klasik Kontemporer di Komunitas LINGKUP.

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Penguasa Kakistokrasi

Redaksi

31 Okt 2025

Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)

Redaksi

24 Okt 2025

Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik …

Maulid Nabi : Meneguhkan Nilai Tauhid dan Meneladani Akhlak

Redaksi

04 Sep 2025

Sejak kelahirannya Nabi Muhammad saw adalah manusia paling suci yang mana beliau tidak memiliki sedikitpun keburukan, beliau adalah seorang yang maksum. Moral etik selalu melekat dalam kesehariannya dan menyempurnakan akhlak menjadi misi utama dalam kerasulannya setelah menegakkan ajaran monoteis (Tauhid). Dua misi ini menjadi prinsip dasar ajaran Islam pada masa awal, yaitu doktrin Tauhid dan …

Memahami Otoritas Syuriah di Jam’iyah NU

Redaksi

24 Mei 2025

Sejak dulu otoritas Syuriah sebagai penentu kebijakan perkumpulan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan arah organisasi para ulama ini, bahkan lebih jauh arahannya ditunggu jamaah NU, dan bahkan pandangan terkait dengan dinamika politik Nasional isyaratnya sangat menentukan peta NU.   Otoritas Syuriah dalam wajah perkumpulan NU dipandang memiliki kekuatan khusus dari intelektual …

Haji Sarana Legitimasi Raja Jawa, Ngelmu dan Islamisasi di Indonesia

Redaksi

21 Mei 2025

Bulan Dzulhijjah merupakan penanda adanya bulan Haji, untuk itu kaum muslimin dari kalangan yang mampu (istatho’a), baik mampu secara fisik, syariat dan finansial, di bulan haji mereka antusias berbondong-bondong untuk menunaikan rukun Islam ke-5 tersebut, tak terkecuali umat Islam di Indonesia, hatta jauh-jauh hari mereka menabung uang untuk beribadah haji ke tanah suci Makkah Arab …

Ahmad Taufiq : 40 Tahun Lakpesdam NU antara Turats dan Menggerakan Ijtihad Sosial

Redaksi

10 Apr 2025

Empat dekade bukan sekadar hitungan usia. Bagi Lakpesdam NU, ini adalah cermin perjalanan panjang, dari sekadar pelengkap struktural menjadi nadi peradaban, dari ruang-ruang diskusi hingga menyentuh denyut masyarakat. Sebagai bagian dari keluarga besar Lakpesdam, saya merasa terpanggil untuk merefleksikan titik ini, adalah sebuah momentum penting dalam upaya menegaskan kembali posisi Lakpesdam sebagai Badan Perencanaan Strategis …

x
x