Home » Kemandirian » Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag-II)

Kemandirian Melangit dan Membumi (Bag-II)

admin 21 Mar 2025 460

Kemandirian adalah kemampuan seseorang, komunitas, masyarakat, organisasi, lembaga, instansi atau negara untuk mengatur diri sendiri, membuat kebijakan, keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, dan mengambil tindakan tanpa bergantung pada pihak lain.

Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, dan mengembangkan potensi diri sendiri (sdm maupun sda), sarana dan prasarana dalam segala bidang, suatu misal kemandirian pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, politik dan lain-lain tanpa campur tangan atau dominasi pihak lain.

Selanjutnya supaya memiliki keunikan dan bercita rasa melangit dan membumi. Kemandirian dibagi dua jenis yaitu Kemandirian Melangit (Bag-1) dan Kemandirian Membumi (Bag-2), dengan penjelasan singkat sebagai berikut :

B. KEMANDIRIAN MEMBUMI

Kemandirian Membumi merujuk pada konsep kemandirian yang bersifat nyata dan berakar pada kondisi dan realitas kehidupan sehari-hari. Istilah ini mengandung arti bahwa seseorang atau suatu entitas, misal : masyarakat, lembaga, organisasi, instansi atau negara dapat berdiri sendiri, mandiri, tanpa bergantung pada pihak lain. Namun tetap berorientasi pada nilai-nilai dan kebutuhan yang ada disekitarnya, sesuai dengan konteks dan lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi yang ada.

Kemandirian ini tidak bersifat abstrak atau idealis, tetapi lebih kepada kemampuan untuk bertahan dan berkembang berdasarkan kekuatan dan sumber daya yang ada di dunia nyata. Secara simpelnya, Kemandirian Membumi menekankan pada kemandirian yang praktis, realistis, dan sesuai dengan kondisi kearifan lokal atau lingkungan sekitar.

Kemandirian Membumi dalam beberapa hasil karya pemikiran pandangan Para Filsuf, Para Ulama (Dalil Ijma-Qiyas) dan Para Tokoh, diantaranya sebagai berikut :

1. Kemandirian Menurut Para Filsuf

1.1. Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles, seorang Filsuf Yunani berbicara tentang kemandirian dalam konteks Eudaimonia (kebahagiaan atau pemenuhan diri). Menurutnya, kemandirian bukan hanya tentang kebebasan dari ketergantungan materi atau sosial, tetapi juga kemampuan untuk mengembangkan potensi terbaik dalam diri. Kemandirian dalam pandangan Aristoteles adalah hidup yang dijalani dengan kebijaksanaan dan kehormatan, serta mencapai tujuan hidup yang baik melalui pencapaian kebajikan.

1.2. Immanuel Kant (1724–1804)
Immanuel Kant, seorang Filsuf Jerman yang terkenal dengan teori etika Deontologinya, melihat kemandirian sebagai kebebasan moral. Menurutnya, kemandirian bukan hanya kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginan pribadi, tetapi lebih kepada kemampuan untuk bertindak menurut prinsip moral yang universal. Bagi Kant, kemandirian adalah kemampuan untuk bertindak berdasarkan imperatif kategoris (hukum moral yang harus diikuti oleh semua orang), bukan berdasarkan kehendak pribadi atau pengaruh eksternal.

1.3. Emerson (1803–1882)
Emerson, seorang Filsuf Amerika dan tokoh utama dalam gerakan Transendentalisme, mengajarkan pentingnya kemandirian dalam hal berpikir dan bertindak. Ia percaya bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk memahami kebenaran melalui pengalaman langsung dan intuisi pribadi, bukan melalui pengaruh eksternal atau tradisi. Emerson menekankan bahwa kemandirian adalah tentang kepercayaan pada diri sendiri dan kemampuan untuk berpikir secara independen.

1.4. John Stuart Mill (1806–1873)
Jhon Stuart Mill, seorang Filsuf Utilitarianisme, memandang kemandirian dalam konteks kebebasan individu. Dalam bukunya On Liberty, Mill berpendapat bahwa kebebasan individu untuk mengejar kebahagiaan adalah hak yang tak dapat dicabut oleh masyarakat atau negara, selama tidak merugikan orang lain. Kemandirian, menurut Mill, adalah hak untuk menentukan hidupnya sendiri, termasuk dalam hal berpikir, berbicara, dan bertindak, selama tindakan tersebut tidak melanggar hak orang lain.

Kesimpulan Kemandirian Para Filsuf

Para Filsuf memiliki pandangan yang berbeda tentang makna kemandirian, namun ada beberapa kesamaan inti dalam pandangan mereka. Kemandirian bagi filsuf-filsuf ini melibatkan kebebasan individu untuk bertindak, berpikir, dan menentukan takdirnya sendiri. Ini juga mencakup tanggung jawab moral, kemampuan untuk mengembangkan potensi diri, dan kebebasan dari pengaruh eksternal yang merugikan.

2. Kemandirian Menurut Para Ulama

2.1. Imam Al-Ghazali (1058-1111)
Imam Al-Ghazali seorang Ulama Sufi, dalam Ihya ‘Ulumudin menekankan pentingnya kemandirian dalam hal penguasaan diri dan ibadah. Berpendapat bahwa kemandirian bukan hanya tentang tidak bergantung pada orang lain dalam hal materi, tetapi juga dalam aspek spiritual. Seseorang harus dapat mandiri dalam beribadah dan memiliki hubungan yang langsung dengan Allah tanpa perantara, serta tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal duniawi yang bisa mengganggu ketenangan hati.

2.2. Syekh Ibnu Qudamah (1147-1223)
Syekh Ibnu Qudamah seorang Ulama Fiqih, dalam Al-Mughni menekankan pentingnya kemandirian dalam hal ekonomi dan sosial. Menjelaskan bahwa seorang Muslim harus berusaha untuk hidup mandiri secara finansial dengan bekerja halal dan tidak bergantung pada bantuan orang lain. Juga menyarankan agar umat Islam tidak bergantung pada harta orang lain, tetapi sebaliknya harus berusaha mencari nafkah sendiri dengan usaha yang baik.

2.3. KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
KH. Hasyim Asy’ari, tokoh utama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), menekankan pentingnya kemandirian dalam beragama dan kehidupan sehari-hari. Umat Islam harus memiliki kemandirian dalam beribadah kepada Allah dan dalam mengelola kehidupan sosial. Kemandirian ini juga mencakup kemampuan untuk tidak bergantung pada pihak luar dalam hal-hal yang bisa dilakukan sendiri, baik dalam urusan spiritual, ekonomi, maupun sosial. Juga mengajarkan bahwa Islam mengharuskan umatnya untuk saling membantu (ta’awun), tetapi tetap berusaha untuk mandiri dalam banyak aspek kehidupan. Ajarannya : “Seorang Muslim harus bisa berdiri diatas kakinya sendiri, berusaha untuk mencari nafkah yang halal, tanpa mengandalkan orang lain.”

2.4. KH. Ahmad Dahlan (1868-1923)
KH. Ahmad Dahlan, tokoh utama pendiri gerakan Muhammadiyah, pandangannya tentang kemandirian dengan mengajarkan pentingnya pendidikan dan pengembangan diri sebagai bentuk kemandirian yang sejati. Menekankan agar umat Islam tidak bergantung pada orang lain dalam mencari ilmu dan usaha memenuhi kebutuhan hidup. Pendidikan menjadi sarana utama dalam mencapai kemandirian yang tidak hanya bersifat material, tetapi juga dalam hal intelektual dan moral. Ajarannya : “Pendidikan adalah alat untuk mewujudkan kemandirian yang sejati dalam kehidupan umat Islam.”

2.5. Buya Hamka (1908-1981)
Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), salah seorang Ulama terkemuka Nasional dan mantan Ketua MUI Pusat (1975-1981), menekankan kemandirian dalam hal spiritual dan intelektual. Umat Islam harus memiliki kemandirian dalam memahami agama dan menjauhi ketergantungan pada ajaran yang tidak jelas atau meragukan. Juga menekankan bahwa seorang Muslim harus dapat mengatur kehidupan dengan cara mandiri dan sesuai dengan ajaran Islam, serta berperan aktif dalam masyarakat. Ajarannya : “Kemandirian dalam beragama adalah kemampuan untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara langsung tanpa bergantung pada interpretasi yang tidak jelas.”

2.6. KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009)
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), salah seorang Ulama terkemuka NU dan mantan Presiden ke-4 RI (1999-2001), mengajarkan bahwa kemandirian yang sejati adalah kebebasan berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Kemandirian dalam pandangannya adalah kebebasan untuk berpikir kritis terhadap ketidakadilan dan untuk bekerja sama dengan orang lain dalam rangka memperbaiki masyarakat. Juga menekankan pentingnya kemandirian dalam hal berpikir, beragama, dan berkarya untuk masyarakat yang lebih baik. Ajarannya : “Kemandirian adalah kemampuan untuk berpikir kritis dan memperjuangkan keadilan tanpa takut pada ancaman atau tekanan dari pihak manapun.”

Kesimpulan Kemandirian Para Ulama

Secara umum, Para Ulama sepakat bahwa kemandirian dalam Islam untuk segala hal aspek kehidupan termasuk spiritual, keimanan, moral, berfikir, berinteraksi sosial, ekonomi dan lainnya. Kemandirian bagian integral dari ajaran Islam, hal ini sejalan dengan konsep tawakkul (berserah diri kepada Allah) setelah berusaha seoptimal mungkin. Menunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya keikhlasan untuk bekerja keras, bekerja sama, berusaha sebaik-baiknya demi kemaslahatan bersama (Rahmatan lil’alamiin) dan tidak bergantung kepada pihak lain kecuali hanya kepada Allah Rabbul ‘Izati.

3. Kemandirian Menurut Para Tokoh

3.1. Ki Hajar Dewantara (1889-1959)
Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh Pendidikan Indonesia. Menekankan pentingnya pendidikan untuk mencapai kemandirian bagi individu atau bangsa dengan pengetahuan dan karya yang dibutuhkan untuk mengelola kehidupan. Kemandirian adalah kemampuan untuk berdiri tegak dan berkembang sesuai dengan jati diri, tanpa bergantung pada orang lain atau pihak luar. Sebagai pedomannya : “Ing ngarso sung tulodo” (posisi didepan harus memberi contoh baik), “Ing madyo mangun karso” (posisi ditengah harus memberikan semangat) dan “Tut wuri handayani” (posisi dibelakang harus memberi dukungan).

3.2. Adam Smith (1723-1790)
Adam Smith, seorang Tokoh Ekonom Skotlandia dan dikenal Bapak Ekonomi Klasik, menganggap kemandirian sebagai kemampuan individu untuk mengatur diri sendiri dan membuat keputusan ekonomi yang rasional. Kemandirian mengembangkan diri sendiri sangat penting untuk mencapai kemakmuran dan kesuksesan. Kemandirian juga terkait erat dengan prinsip kebebasan ekonomi dan pasar bebas. Dalam bukunya “The Wealth of Nations”, berpendapat bahwa individu yang bebas dalam menjalankan kegiatan ekonomi akan menciptakan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Kemandirian tersebut mencakup kebebasan dalam berdagang, bekerja, dan berinovasi tanpa campur tangan berlebihan dari negara.

3.3. Ir. Soekarno (1901-1970)
Ir. Soekarno, seorang Tokoh Politik, Proklamator dan Presiden Pertama RI (1945-1967). Seorang pemimpin yang memiliki semangat kemandirian tinggi dan kuat. Menganggap kemandirian sebagai kemampuan bangsa untuk mengatur diri sendiri dan membuat keputusan yang tepat untuk masa depan bangsa, sehingga dapat berdiri diatas kaki sendiri, tanpa bergantung pada pihak lain. Kemandirian sebagai kemerdekaan yang lebih luas, baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun budaya. Menegaskan bahwa suatu bangsa harus merdeka secara penuh dari penjajahan, baik secara fisik maupun mental. Kemandirian juga adalah kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, mengelola sumber daya yang ada, dan memiliki kebebasan untuk berkembang tanpa terbelenggu oleh kekuatan asing.

3.4. Nelson Mandela (1918-2013)
Nelson Mandela, seorang Tokoh Aktivis Anti-Apartheid, Politikus, Filantropis, Hadiah Nobel Perdamaian (1999) dan Presiden Afrika Selatan (1994-1999). Memiliki pandangan yang kuat, bahwa Kemandirian adalah sebagai hak asasi manusia yang harus dipertahankan, dihormati dan dipertanggung jawabkan. Memerlukan keberanian menghadapi tantangan dan kesulitan. Kemandirian bukanlah hanya tentang kebebasan dari ketergantungan, tetapi tentang kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib sendiri. Kemandirian sebagai kekuatan yang dapat mengubah dunia, mencapai kesuksesan dan keadilan yang lebih besar. Kemandirian sebagai bagian dari perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan. Kemandirian bukan hanya untuk individu, tetapi untuk bangsa yang terjajah. Kemandirian juga adalah kebebasan untuk hidup tanpa diskriminasi apartheid dan pengaruh dari pihak lain yang menindas.

3.5. Bill Gates (1955- )
Bill Gates, seorang Tokoh Konglomerat Dunia, Pendiri Microsoft dan Aktifis Filantropis. Pandangannya, bahwa Kemandirian diartikan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat, berani mengambil resiko, memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan belajar mengatasi tantangan dengan solusi kreatif yang berdampak, menganalisis informasi, inovasi perubahan, beradaptasi dengan cepat, menciptakan peluang melalui teknologi dan kewirausahaan. Kemandirian di zaman modern tidak hanya terletak pada aspek ekonomi, tetapi juga dalam menciptakan perubahan positif melalui teknologi, yang dapat membantu banyak pihak.

Kesimpulan Kemandirian Para Tokoh

Secara umum, kelima tokoh tersebut memiliki pandangan yang mirip, yaitu bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk berdiri sendiri, bebas dari pengaruh luar yang merugikan, serta memiliki kontrol atas diri dan kehidupan. Namun, masing-masing tokoh menekankan aspek yang berbeda, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, hingga teknologi.

C. KESIMPULAN KEMANDIRIAN MELANGIT DAN MEMBUMI

Konsep “Kemandirian Melangit Dan Membumi”, menggabungkan dua sisi kehidupan yang saling terkait : idealisme tinggi dan realitas praktis. “Melangit” mengacu pada cita-cita atau tujuan luhur yang tinggi sesuai keyakinan (aqidah), seperti impian, harapan, dan aspirasi yang besar dalam kehidupan. Sementara itu, “Membumi” menggambarkan pentingnya keberlanjutan dan penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang konkret dan realistis dalam bentuk Kemandirian Pendidikan, Ekonomi, Kesehatan Dhohir-Bathin, Sosial Politik dan lainnya.

Secara keseluruhan, kemandirian melangit dan membumi menekankan pentingnya keseimbangan antara impian dan tindakan nyata. Seorang individu, masyarakat, lembaga, instansi atau negara yang mandiri harus mampu meraih aspirasi tinggi, tanpa melupakan kebutuhan praktis dan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kemandirian ini mengajarkan untuk tetap bersikap realistis, namun tidak kehilangan semangat dan tujuan besar dalam hidup yang didasari keniscayaan : cipta (fikroh), keyakinan rasa (aqidah) dan kersa (harokah) sehingga barokah dan maslahat bagi seluruh lapisan masyarakat atau negara tanpa pandang bulu. Wallahu A’lam Bish-Shawaab…

 

Penulis : K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pesantren Cijawura & Wakil Syuriah PC NU Kota Bandung 2024-2029)

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Mengintegrasikan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

Redaksi

26 Nov 2025

Dalam sejarah Intelektual klasik Islam, ada dua nama tokoh terkemuka yang menguncang khasanah kesarjanaan Islam baik di timur maupun di barat, yaitu Imam Ghazali (450–505 H) dan Ibnu Rusyd (520–595 H), mereka berdua sering diposisikan sebagai sosok yang mewakili dua arus pemikiran berbeda : spiritualitas dan rasionalitas, tasawuf dan filsafat, bahasa lainnya hati dan akal. …

Belajar dari Sejarah, Kepemimpinan Ulama dan Arah Perbaikan Konstitusi

Redaksi

23 Nov 2025

Kemelut yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada masa sekarang tahun 2025, bukanlah peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan organisasi ini. NU sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia dengan ratusan jutaan warga dan ribuan pesantren tentu tidak luput dari dinamika internal, perbedaan pendapat, atau ketegangan antar-elitis. Dalam organisasi besar, gesekan adalah sesuatu yang …

Ibnu Rusyd Pemikir Muslim Independen

Redaksi

14 Nov 2025

Sebelum membicarakan pemikiran Ibnu Rusyd  atau Averoes di dunia Barat biasa disebut, terlebih dahulu mengetahui historiografi atau latar belakang Ibnu Rusyd dan aktivitas intelektualnya, berdasarkan sumber-sumber primer yang saya baca, ini cukup penting diketahui. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, di …

Penguasa Kakistokrasi

Redaksi

31 Okt 2025

Majalah The Economist memuat kata tahunan pada tahun 2024 lalu, sangat menarik. Laporan itu memilih frasa “kakistokrasi” untuk menggambarkan kemenangan Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Kembalinya Trump ke Gedung Putih menurut laporan The Economist itu membawa pada konsekuensi penting, bukan saja bagi negara adikuasa itu sendiri, akan tetapi bagi negara tetangga dan …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (II)

Redaksi

28 Okt 2025

Absenya Etika dalam Politik Kita Dalam refleksinya Kiai Asep Cijawura merenungkan persoalan mendasar tentang masalah umat sekarang. Yaitu terjadinya krisis moral yang mengakibatkan problem pada kehidupan umat, dan berdampak melahirkan gap dalam segala multidimensi, terutama minat terhadap keilmuan dan kecakapan ekonomi yang mandiri jauh tertinggal. Sebagaimana ulama-ulama pembaharu dahulu Kiai Asep juga berpendapat, pangkalnya ada …

Kiai Asep Cijawura dan Tawarannya (I)

Redaksi

24 Okt 2025

Membincang tentang etika (akhlak), pembaharuan, dan kemandirian jadi percakapan rutin Kiai Asep Cijawura (begitu biasa saya menyebut) K.H.M. Asep Usman Rosadi (Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura Kota Bandung). Tiga topik yang ditawarkan Kiai Asep tidak saja deskriptif, tetapi sekaligus perspektif sebagai falsafah hidup kesehariannya baik di lingkungan Pesantren maupun jamaahnya. Lanskap ide-ide tersebut juga sangat menarik …

x
x