Home » Filsafat » Mazhab Kaum Sofis (Sufastaiyyah)

Mazhab Kaum Sofis (Sufastaiyyah)

admin 09 Mar 2025 55

Perkembangan tradisi keilmuan Islam pada abad ke-3 H melalui pendirian Khazain al-Hikmah berupa perpustakaan pribadi Ja’far al-Manṣûr yang diperluas pada masa Al-Mahdî sebagai Bait al-Hikmah menandai penerimaan atau setidaknya pengaruh berbagai aliran filsafat Yunanî (falsafah al-Yunân) sebagai bagian panjang diskursus epistemologi Islam. Pengaruh filsafat Yunani tidak hanya terbatas pada aliran peripatetik (masyâiyyah) yang ditandai penerjemahan bagian-bagian Organon karya Aristoteles melalui peran para patriakh gereja Byzantium ran Antokhia yang meneruskan tradisi filsafat Aristoteles dari Alexandria yang kemudian berkembang dalam Islam menjadi aliran filsafat peripatetik Islam melalui peran Abû Ishâq al-Kindî, Al-Farâbî, Ibn Sînâ, etc., tetapi juga berbagai aliran filsafat Yunani yang cukup mendapat perhatian di kalangan sejarawan (muarrikh) dan teolog (mutakallimin) antaranya ialah aliran filsafat Sufastaiyyah.

Kata Sufastaiyyah merupakan bentuk Arabisasi (i’râb) dari kata Sofis dimana akat kata ini serupa dengan kata Sofia (σοφία) yang berarti hikmah. Para Sofis disebut sebagai sophistēs (σοφιστής) yang berarti sekumpulan orang-orang bijaksana. Para Sofis muncul sekitar abad ke-5 S.M. di Yunani  terutama di kota Athena.

Sofis merupakan gerakan orang-orang terpelajar yang berpengaruh besar dalam pengajaran akademik terutama menyangkut pengajaran berbagai disiplin pengetahuan seperti filsafat, etika, fisika, matematika, etc. Tokoh terawal di dalam gerakan Sofis adalah Protagoras, lalu diikuti oleh Gorgias, Thrasymachus, Lykophron, etc. Para aristokrat, senator dan penduduk Athena melibatkan kalangan Sofis untuk mengajarkan etika dan politik dan berbagai subjek disiplin ilmu yang terkait praktik kekuasaan.

Doktrin utama para Sofis terkait erat dengan filsafat pengetahuan. Para Sofis cenderung menganggap pengetahuan bersifat subjektif dan intersubjektif dan atas alasan itu pengetahuan tentang suatu objek tidak bersifat absolut dan pasti. Para sofis menganggap bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk menafsirkan dan memahami pengetahuan sebagai suatu bentuk kebenaran yang bersifat arbitrer tanpa perlu bergantung pada suatu otoritas atau epistemologi tertentu. Pada tahap ini para Sofis menganggap bahwa pengetahuan yang bersifat ideal dan obyektif sebagai pengetahuan positif tidak berlaku dan sebab itu sebagaimana Hans Gadamer bahwa setiap orang dapat mencapai pengetahuan melalui jalan dialektika tanpa perlu bergantung pada disiplin pengetahuan tertentu dimana terdapat landasan ilmiah dan otoritas pengetahuan yang bersifat memaksa dan berlebihan untuk mengesankan sifat adikuasa sebagai sarana untuk mencapai kebenaran sejati yang justru hanyalah ilusi semata.

Pengaruh Sofisme dalam filsafat Islam dan gerakannya berpengaruh terhadap tradisi keilmuan Islam melalui perdebatan terbuka yang diselenggarakan oleh para khalifah dinasti ‘Abbasiyah dengan mempertemukan berbagai aliran pemikiran dan agama dalam mendiskusikan berbagai topik pemikiran. Para teolog Muslim mulai mengenal keberadaan para Sofis dari perdebatan-perdebatan terbuka tersebut. Para teolog Muslim (mutakallimîn) menyebut bahwa para Sofis bersikap skeptis terhadap pengetahuan.

Pandangan para Sofis yang meragukan pengetahuan dipandang dapat membahayakan keyakinan umat Islam yang dibangun atas epistemologi akidah atau keimanan yang bersandar pada pengetahuan kewahyuan. Konsep keraguan terhadap pengetahuan tampak terlihat dari perspektif para pemikir Islam dari abad ke-2 H. seperti Ibn al-Muqaffa’ dan Ṣalih b. ‘Abdul Quddus yang didasari tujuan menggantikan doktrin akidah Islam yang dibangun atas dasar primasi epistemologi kewahyuan dengan pendekatan rasional dan metode ilmiah (Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, 2007, p. 313).

Abû Manṣûr al-Maturîdî dalam Kitâb At-Tawhîd mencatat secara mendasar pandangan para Sofis yang mengingkari kebenaran pengetahuan dengan menganggap pengetahuan hanyalah bersifat persepsi belaka yang timbul dari pengalaman manusia sehari-hari dan bukan sesuatu yang bersifat pasti. Al-Maturîdî membantah pandangan ini dengan menyebut bahwa penafian para Sofis itu sendiri tidak rasional sebab mereka mengingkari sesuatu yang bersifat alamiah (ḍarûrî) yang kepastiannya tidak membutuhkan pembuktian, seperti pengalaman yang dialami indera manusia dalam pengecapan sensasi motorik, sehingga apa yang dirasakan merupakan pengetahuan itu sendiri.

Hal itu mengarah pada kesimpulan bahwa pandangan para Sofis sendiri tidak berdasar sebab ia juga merupakan pengetahuan, sehingga penyangkalan terhadap pengetahuan yang bersifat afirmatif  berkonsekuensi pada penafian terhadap pengetahuan yang bersifat penyisihan itu sendiri.  Lebih lanjut Al-Maturidî juga membantah penegasian kalangan Sufastaiyyah terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan inderawi, dimana Al-Maturîdî menyebut bahwa indera hanyalah sarana atau alat, dimana kesimpulan yang dicapai oleh setiap orang atas objek pengetahuan itu melalui penginderaan akan  serupa dan perbedaan yang timbul dari indrawi bukan sesuatu yang bersifat bawaan pada indera tapi disebabkan aspek keadaan.

Al-Îjî juga menyimpulkan bahwa klaim keraguan atas pengetahuan yang dibuat para Sofis bersifat paradoks disebabkan ia juga dibangun atas dasar keraguan. Ibrâhîm Al- Al-Halâbî dalam Silk al-Nizhâm menyebut kelompok Sufastaiyyah terdiri atas golongan Al-Lâ Adriyah yaitu mereka yang berpandangan bahwa keraguan mereka ditujukan terhadap fenomena dengan sesuatu yang bersifat ilusif (fatamorgana), Al-Anâdiyah yaitu golongan yang berpendapat bahwa setiap pengetahuan proporsi-proporsi dari al-Badîhiyah dan al-Nazhariyah selalu saja terdapat penegasian dan lawan sepertinya, Al-‘Indiyah yang menganut keberagaman kebenaran (pluralisme) dimana setiap pihak memegang kebenaran yang bersifat analogis (qiyâsî), sehingga pada nafs al-amr (realitas) tidak ada sesuatu kebenaran.

Kendati pandangan para Sofis kerap bertentangan dengan para teolog, tetapi terdapat keterkaitan epistemologis di antara keduanya. Para Sofis dan teolog Muslim berpegang pada nilai-nilai kebenaran dari penalaran logis yang didasarkan pad serangkaian premis dalam konteks kehidupan. Para Sofis meyakini aksioma merupakan dasar utama moralitas bagi suatu masyarakat. []

Penulis: Syamsul Idul Adha, Akademisi Islam di UIN Ar Raniry Banda Aceh.

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Dari Politisi Menjadi Ulama Terkemuka

admin

15 Mar 2025

Segera setelah Ayah Hisyam II dari dinasti Hakam II memberikan karpet merah pada anak remajanya itu untuk melanjutkan kekuasaan di Cordoba perkiraan antara tahun 976-1009 Masehi, situasi politik di Kota tersebut mulai tak terkendali dan bahkan memburuk. Sebab pejabat-pejabat di lingkaran Istana yang menjadi pelaksana harian politik Hisyam II, sang penguasa yang masih muda itu …

Terminologi Ulama dalam Perspektif Islam

admin

14 Mar 2025

Makna Ulama menurut Al-Qur’an dan Hadits dapat dijelaskan sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam, khususnya dalam hal ilmu tentang Allah, wahyu-Nya, serta ajaran-ajaran Islam. Berikut adalah sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadis yang menyebutkan tentang ulama: 1.Makna Ulama dalam Al-Qur’an Surah Al-Fathir ayat : 28. اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ …

Dari Gus Dur Kita Belajar Tentang Pembaharuan NU (I)

admin

10 Mar 2025

Setelah wafat KH. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ) pada 30 Desember 2009 banyak murid dan pengikutnya menyebut bulan Desember sebagai bulan Gus Dur. Berbagai ucapan, tulisan,opini, esai, meme, dan diskusi-diskusi bertemakan tentang pemikiran Gus Dur diselenggarakan, bertebaran banner, leaflet digital memenuhi linimasa media sosial kita. Jika boleh dikenakan dalam istilah sekarang Point of View (POV) Gus …

Runtuhnya Moral Religiusitas Orang Terkenal

admin

10 Mar 2025

Beberapa hari terakhir media sosial diguncangkan tentang penjual Es Teh yang berjualan di tengah kerumunan acara ke-agama-an dengan penceramah atau seorang mubalig tersohor. Dalam acara tersebut sang mubaligh mempertontonkan etika ujaran yang tidak sepatutnya ia lontarkan terhadap pedagang Es Teh tersebut. Peristiwa viral tersebut mengundang banyak pihak merespon dengan kritik, cemooh, bahkan hujatan terhadap mubaligh kondang …

Islam dan Nalar Arab

admin

10 Mar 2025

Dalam peradabanya Islam merupakan agama yang sangat mempengaruhi dunia, setelah Kristen. Islam selalu diidentikan di mana asal agama tersebut dilahirkan, yaltu bangsa ‘Arab. Tradisi ‘Arab sangat mempengaruhi ajaran Islam. Pada perjalanannya praktik Islam pun selalu tersisipkan nilai-nilai budaya ‘Arab. Sehingga setiap kali Islam ditemui, maka tradisi ‘Arab kita jumpai. Lalu apakah tradisi ‘Arab menjadi praktik dalam …

SUKMA: Inti Kesadaran Manusia — Experimental Philosophy (1)

admin

10 Mar 2025

Suatu penelitian dianggap ilmiah jika memenuhi standar pengujian yang berbasis pada pengamatan. Sayangnya, ilmuan Barat selalu menganggap aktivitas pengamatan identik dengan ‘pengamatan indrawi’ yang berakar pada filsafat empirisme David Hume atau John Locke. Alhasil, apa yang dianggap ilmiah saat ini adalah hasil dari rumusan para filsuf dan saintis di abad-abad revolusi sains di Eropa pada abad …

x
x